Ticker

6/recent/ticker-posts

Pengembangan Usaha Kecil Menengah

PENGARUH PERKEMBANGAN USAHA KECIL MENENGAH  
TERHADAP PERTUMBUHAN EKONOMI PADA SEKTOR UKM  
DI KOTA BANJARBARU
oleh : Rabiynet@gmail.com


A. Pendahuluan 
Pada negara yang sedang berkembang sperti Indonesia pembanguan ekonomi adalah hal yang sangat penting bagi kemajuan bangsa, terutama dalam meningkatkan pendapatan ekonomi dan pertumbuhan ekonomi yang tinggi dalam jangka waktu tertentu. Sayangnya ketika bangsa Indonesia dalam proses pembangunan terjadi krisis global yang berdampak sangat besar bagi bangsa ini. Seperti halnya sunami yang begitu dasyatnya menghantam prekonomian bangsa yang telah dibangun bertahun-tahun, tanpa ayal begitu banyak perusahaan besar yang mengalami instabilitas bahkan berdampak kepada kebangkrutan. Ketika begitu banyaknya industri ataupun perusahaan besar yang mengalami goncangan maka salah satu instuitusi yang mempu bertahan adalah sektor UKM. Ketika terjadi krisis ekonomi 1998, hanya sektor UKM yang bertahan dari kolapsnya ekonomi, sementara sektor yang lebih besar justru tumbang oleh krisis. Krisis ini telah mengakibatkan kedudukan posisi pelaku sektor ekonomi berubah. Usaha besar satu persatu pailit karena bahan baku impor meningkat secara drastis, biaya cicilan utang meningkat sebagai akibat dari nilai tukar rupiah terhadap dollar yang menurun dan berfluktuasi. Sektor perbankan yang ikut terpuruk turut memperparah sektor industri dari sisi permodalan. Banyak perusahaan yang tidak mampu lagi meneruskan usaha karena tingkat bunga yang tinggi. Berbeda dengan UKM yang sebagian besar tetap bertahan, bahkan cendrung bertambah. (Departemen Koperasi, 2008) Terbukti saat krisis global yang terjadi beberapa waktu lalu, UKM hadir sebagai suatu solusi dari sistem perekonomian yang sehat. UKM merupakan salah satu sektor industri yang sedikit bahkan tidak sama sekali terkena dampak krisis global yang melanda dunia. Dengan bukti ini, jelas bahwa UKM dapat diperhitungkan dalam meningkatkan kekompetitifan pasar dan stabilisasi sistem ekonomi yang ada. (Departemen Koperasi, 2008). Sejarah perekonomian telah ditinjau kembali untuk mengkaji ulang peranan usaha skala kecil-menengah (UKM). Beberapa kesimpulan, setidak-tidaknya hipotesis telah ditarik mengenai hal ini. Pertama, pertumbuhan ekonomi yang sangat cepat sebagaimana terjadi di Jepang, telah dikaitkan dengan besaran sektor usaha kecil. Kedua, dalam penciptaan lapangan kerja di Amerika Serikat sejak perang dunia II, sumbangan UKM ternyata tak bisa diabaikan (D.L. Birch, 1979). Negara-negara berkembang yang mulai mengubah orientasinya ketika melihat pengalaman di negara-negara industri maju tentang peranan dan sumbangan UKM dalam pertumbuhan ekonomi. Ada perbedaan titik tolak antara perhatian terhadap UKM di negara-negara sedang berkembang (NSB) dengan di negara-negara industri maju. Di NSB, UKM berada dalam posisi terdesak dan tersaingi oleh usaha skala besar. UKM sendiri memiliki berbagai ciri kelemahan, namun begitu karena UKM menyangkut kepentingan rakyat/masyarakat banyak, maka pemerintah terdorong untuk mengembangkan dan melindungi UKM. Sedangkan di negara-negara maju UKM mendapatkan perhatian karena memiliki faktor-faktor positif yang selanjutnya oleh para cendekiawan (sarjana-sarjana) diperkenalkan dan diterapkan ke NSB. Beberapa keunggulan UKM terhadap usaha besar antara lain adalah : 1. Inovasi dalam teknologi yang telah dengan mudah terjadi dalam pengembangan produk. 2. Hubungan kemanusiaan yang akrab didalam perusahaan kecil. 3. Kemampuan menciptakan kesempatan kerja cukup banyak atau penyerapannya terhadap tenaga kerja. 4. Fleksibilitas dan kemampuan menyesuaikan diri terhadap kondisi pasar yang berubah dengan cepat dibanding dengan perusahaan skala besar yang pada umumnya birokratis. 5. Terdapatnya dinamisme managerial dan peranan kewirausahaan. Usaha Kecil dan Menengah (UKM) berperan sebagai kekuatan strategis dan memiliki posisi penting, bukan saja dalam penyerapan tenaga kerja dan kesejahteraan masyarakat di daerah, dalam banyak hal mereka menjadi perekat dan menstabilkan masalah kesenjangan sosial. UKM memiliki kelenturan menghadapi badai krisis, hal ini antara lain disebabkan oleh tingginya kandungan pada faktor-faktor produksi mereka, baik pada penggunaan bahan baku maupun tarap. Selain itu, usaha mereka pada umumnya berbasis pada kebutuhan masyarakat luas dan memiliki keunggulan komparatif. Dalam perkembangannya UKM mengalami berbagai hambatan. Hambatan-hambatan tersebut intensitasnya bisa berbeda dari satu daerah dengan daerah yang lain misalnya antara pedesaan dan perkotaan, atau antar sektor, atau antar sesama perusahaan pada sektor yang sama. Adapun alasan-alasan UKM dapat bertahan dan cenderung meningkat jumlahnya pada masa krisis yaitu karena: pertama; sebagian besar UKM memproduksi barang konsumsi dan jasa-jasa dengan elastisitas permintaan terhadap pendapatan yang rendah. Kedua; sebagian besar UKM ekonomi yang berkepanjangan menyebabkan sektor formal banyak memberhentikan pekerjanya. Sehingga para penganggur tersebut memasuki sektor informal dengan melakukan kegiatan usaha yang berskala kecil, akibatnya jumlah UKM meningkat (Partomo dan Soejodono, 2004). Di Indonesia harapan untuk membangkitkan ekonomi rakyat sering kita dengarkan karena pengalaman ketika krisis multidimensi tahun 1997-1998 usaha kecil telah terbukti mampu mempertahankan kelangsungan usahanya, bahkan memainkan fungsi penyelamatan di beberapa sub-sektor kegiatan. Fungsi penyelamatan ini segera terlihat pada sektor-sektor penyediaan kebutuhan pokok rakyat melalui produksi dan normalisasi distribusi. Bukti tersebut paling tidak telah menumbuhkan optimisme baru bagi sebagian besar orang yang menguasai sebagian kecil sumberdaya akan kemampuannya untuk menjadi motor pertumbuhan bagi pemulihan ekonomi. Dalam penelitian Van Gils (2007) dalam Aylin Ates dan Umit Bititci (2008) menyatakan bahwa UKM adalah mesin penting untuk merangsang pertumbuhan ekonomi suatu negara. Peran Usaha Kecil Menengah (UKM) dalam perekonomian Indonesia paling tidak dapat dilihat dari: (1) kedudukannya sebagai pemain utama dalam kegiatan ekonomi di berbagai sektor, (2) penyedia lapangan kerja yang terbesar, (3) pemain penting dalam pengembangan kegiatan ekonomi lokal dan pemberdayaan masyarakat, (4) pencipta pasar baru dan sumber inovasi, serta (5) sumbangannya dalam menjaga neraca pembayaran melalui kegiatan ekspor. Posisi penting ini sejak dilanda krisis belum semuanya berhasil dipertahankan sehingga pemulihan ekonomi belum optimal. (Departemen Koperasi, 2010) Dalam pembangunan ekonomi di Indonesia UKM selalu digambarkan sebagai sektor yang mempunyai peranan penting, karena sebagian besar jumlah penduduknya berpendidikan rendah dan hidup dalam kegiatan usaha kecil baik di sektor tradisional maupun modern. Serta mampu menyerap banyak tenaga kerja. Peranan usaha kecil tersebut menjadi bagian yang diutamakan dalam setiap perencanaan tahapan pembangunan yang dikelola oleh dua departemen yaitu Departemen Perindustrian dan Perdagangan, serta Departemen Koperasi dan UKM. (Kuncoro, 2002). Beberapa penyebab laju pertumbuhan ekonomi membaik tetapi tidak memperbaiki peningkatan kesempatan kerja adalah; pertama, sumber perbaikan pertumbuhan ekonomi umumnya berasal dari konsumsi masyarakat dan pemerintah, bukan berasal dari peningkatan kapasitas perekonomian. Kedua, kebijakan politik berasal dari probisnis menjadi proburuh. Hal ini mengakibatkan pasar tenaga kerja menjadi rigid dan menyebabkan peningkatan biaya tenaga kerja relative terhadap faktor produksi lainnya. Pertumbuhan ekonomi yang dibutuhkan dimasa mendatang adalah pertumbuhan ekonomi yang dapat menyerap tenaga kerja. Keadaan ini akan terwujud jika penyimpangan (distorsi), khususnya dalam pasar tenaga kerja, yang menyebabkan peningkatan rasio upah terhadap biaya produksi lainnya meningkat. (Ikhsan, 2004). Peranan UKM dalam mendorong percepatan pertumbuhan ekonomi sangat penting. Faktanya terdapat ketidakseimbangan antara sumbangan UKM dalam penyediaan lapangan kerja dengan kontribusi dalam pembentukan nilai tambah. Pertumbuhan UKM yang lebih cepat dibandingkan kelompok usaha besar akan memperbaiki struktur usaha dan distribusi pendapatan secara keseluruhan. (Ikhsan, 2004) Salah satu bentuk dari peranan usaha kecil dan menengah dalam penciptaan nilai tambah terus meningkat dari tahuun ke tahun. secara sektoral UKM memiliki keunggulan dalam sektor tersier seperti bidang usaha yang memanfaatkan sumber daya alam (pertanian tanaman bahan makanan, perkebunan, peternakan dan perikanan) dan sektor pertambangan dan penggalian. Penciptaan nilai tambah UKM di masing-masing sektor tersebut selalu meningkat terutama sektor andalan UKM yakni sektor pertanian, peternakan, kehutanan dan perikanan. Berbeda dengan sektor industri pengolahan yang peningkatan nilai tambahnya tidak terlalu meningkat tajam. Dilihat dari kontribusi UKM terhadap perekonomian, maka UKM memiliki peran penting dalam pengembangan usaha di Indonesia. UKM juga merupakan cikal bakal dari tumbuhnya usaha besar. Hampir semua usaha besar berawal dari UKM. Usaha kecil menengah (UKM) harus terus ditingkatkan (up grade) dan aktif agar dapat maju dan bersaing dengan perusahaan besar. Jika tidak, UKM di Indonesia yang merupakan jantung perekonomian Indonesia tidak akan bisa maju dan berkembang. Satu hal yang perlu diingat dalam pengembangan UKM adalah bahwa langkah ini tidak semata-mata merupakan langkah yang harus diambil oleh pemerintah dan hanya menjadi tanggung jawab pemerintah. Pihak UKM sendiri sebagai pihak yang dikembangkan, dapat mengayunkan langkah bersama-sama dengan pemerintah. Selain pemerintah dan UKM, peran dari sektor perbankan juga sangat penting terkait dengan segala hal mengenai pendanaan, terutama dari sisi pemberian pinjaman atau penetapan kebijakan perbankan. Lebih jauh lagi, terkait dengan ketersediaan dana atau modal, peran dari para investor baik itu dari dalam maupun luar negeri, tidak dapat pula kita kesampingkan. Aturan main bagi pelaku usaha (termasuk UKM) sehingga upaya pengembangan UKM tidak hanya bisa dilaksanakan secara parsial, melainkan harus terintegrasi dengan pembangunan ekonomi nasional dan dilaksanakan secara berkesinambungan. Kebijakan ekonomi (terutama pengembangan dunia usaha) yang ditempuh selama ini belum menjadikan ikatan kuat bagi terciptanya keterkaitan antara usaha besar dan UKM. Pemerintah pada intinya memiliki kewajiban untuk turut memecahkan tiga hal masalah klasik yang kerap kali menerpa UKM, yakni : (1) akses pasar, (2) modal, dan (3) teknologi. Secara keseluruhan, terdapat beberapa hal yang harus diperhatikan dalam melakukan pengembangan terhadap unit usaha UKM, antara lain kondisi kerja, promosi usaha baru, akses informasi, akses pembiayaan, akses pasar, peningkatan kualitas produk dan SDM, ketersediaan layanan pengembangan usaha, pengembangan cluster, jaringan bisnis, dan kompetisi. UKM memiliki potensi yang begitu besar namun kenyataanya UKM masih mengalami berbagai hambatan internal maupun eksternal dalam bidang produksi, pengolahan, pemasaran, modal dan lain-lain. Salah satu strategi UKM adalah kemitraan dan bantuan keuangan. Peranan UKM dalam peningkatan perekonomian daerah melalui pertumbuhan ekonomi yaitu diindikasikan dengan pertumbuhan ekonomi UKM. Pertumbuhan UKM dipengaruhi oleh beberapa faktor yang berkaitan dengan perkembangan UKM yang terdiri dari : 1. Jumlah unit UKM 2. Tenaga kerja UKM 3. Investasi UKM. Pasar tenaga kerja di Indonesia dapat dapat dibedakan atas sektor informal dan formal. Dalam hal ini sektor informal merupakan indikasi dari UKM. (Cahyono, 1983). UKM di Indonesia sangat penting terutama dalam hal penciptaan kesempatan kerja. Argumentasi ini didasarkan pada kenyataan bahwa, disatu pihak, jumlah angkatan kerja di Indonesia sangat berlimpah mengikuti jumlah penduduk yang besar, dan dipihak lain, Usaha Besar (UB) tidak sanggup menyerap semua pencari pekerjaan. Ketidaksanggupan Usaha Besar (UB) dalam menciptakan kesempatan kerja yang besar disebabkan karena memang pada umumnya kelompok usaha tersebut relatif padat modal, sedangkan UKM relatif padat karya. Indikator perkembangan UKM juga dilihat dari ekspor pada sektor UKM, peluang untuk mengembangkan UKM yang akan memasuki pasar ekspor masih sangat memiliki prospek yang cukup baik dan memiliki potensi yang cukup besar di masa mendatang. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (2003) menyebutkan bahwa di Indonesia jumlah UKM tercatat 42,3 juta atau 99,90 % dari total jumlah unit usaha. UKM (Usaha Kecil dan Menengah) menyerap tenaga kerja sebanyak 79 juta atau 99,40 % dari total angkatan kerja. Kontribusi UKM dalam pembentukan PDB sebesar 56,70 %. Kemudian sumbangan UKM terhadap penerimaan devisa negara melalui kegiatan ekspor sebesar Rp 75,80 triliun atau 19,90 % dari total nilai ekspor. Sampai saat ini perekonomian Indonesia mayoritas ditopang oleh sektor ini. Setidaknya, sektor usaha mikro, kecil, dan menengah tersebut mampu menyerap sekitar 70 % tenaga kerja informal. Sisanya, 30 % bergerak di bidang formal. UMKM juga telah menyumbang produk ekspor sampai 16 %. Sektor usaha mikro kecil dan menengah ini perlu dibina dan diberdayakan, karena merupakan penggerak perekonomian dan pengembang ekonomi kerakyatan. Potensi itu terlihat tahun 2003, UMKM telah menyerap sebanyak 42,4 juta unit usaha dan 79 juta tenaga kerja dengan 56,7 % dari PDB nasional. Sebagai salah satu pilar utama ekonomi nasional, UMKM harus memperoleh kesempatan utama, dukungan, perlindungan dan pengembangan seluas-luasnya sebagai wujud keberpihakan yang tegas kepada kelompok usaha ekonomi rakyat tersebut, yang diwujudkan melalui pemberdayaan UMKM. Pemberdayaan adalah upaya yang dilakukan Pemerintah, Pemerintah Daerah, Dunia Usaha, dan masyarakat secara sinergis dalam bentuk penumbuhan iklim dan pengembangan usaha terhadap UMKM sehingga mampu tumbuh dan berkembang menjadi usaha yang tangguh dan mandiri. Kebijakan pemberdayaan UMKM antara lain dimuat dalam UU No. 20/2008 tentang UMKM; dan Perpres No. 5/2010 tentang RPJMN 2010-2014. Dalam UU No. 20/2008 disebutkan antara lain prinsip-prinsip dan tujuan pemberdayaan UMKM. 1. Prinsip pemberdayaan UKM, meliputi: (1) Penumbuhan kemandirian, kebersamaan, dan kewirausahaan UMKM untuk berkarya dengan prakarsa sendiri; (2) Perwujudan kebijakan publik yang transparan, akuntabel dan berkeadilan; (3) Pengembangan usaha berbasis potensi daerah dan berorientasi pasar sesuai dengan kompetensi UMKM; (4) Peningkatan daya saing UMKM, dan (e) Penyelenggaraan perencanaan, pelaksanaan, dan pengendalian secara terpadu. 2. Tujuan pemberdayaan UMKM adalah: (1) Mewujudkan struktur perekonomian nasional yang seimbang, berkembang dan berkeadilan; (2) Menumbuhkan dan mengembangkan kemampuan UMKM menjadi usaha yang tangguh dan mandiri; dan (3) Meningkatkan peran UMKM dalam pembangunan daerah, penciptaan lapangan kerja, pemerataan pendapatan, pertumbuhan ekonomi, dan pengentasan kemiskinan. Dalam rangka pemberdayaan UKM pemerintah telah mengeluarkan kebijakan kemitraan, antara lain: PP No. 44/1997 tentang Kemitraan. Sebagai tindak lanjutnya, pemerintah menerbitkan Keppres No. 127/2001 tentang Bidang/Jenis Usaha yang terbuka untuk Usaha Menengah atau Besar dengan syarat kemitraan. Selanjutnya, diterbitkan kebijakan teknis berupa Peraturan Menteri BUMN No. PER-05/MBU/2007 tentang Program Kemitraan BUMN dengan Usaha Kecil dan Program Bina Lingkungan. Dalam memberdayakan UKM perlu diperhatikan permasalahan yang dihadapi UKM itu sendiri. Dalam Lampiran Perpres No. 5/2010 tentang RPJMN 2010-2014, pada buku II Bab III disebutkan tentang permasalahan UMKM, antara lain: 1. Permasalahan belum kondusifnya iklim usaha: Koperasi dan UMKM masih menghadapi berbagai permasalahan yang mendasar dalam menjalankan usahanya, termasuk tantangan untuk berkompetensi dan berkompetisi dalam persaingan pasar global yang cukup berat. Untuk itu, pemberdayaan koperasi dan UMKM masih perlu dilanjutkan dalam periode 5 (lima) tahun mendatang. Koperasi dan UMKM dalam periode 5 tahun ke depan masih menghadapi masalah yang terkait belum kondusifnya iklim usaha sebagai akibat: (1) belum efektifnya koordinasi dan sinkronisasi program dan kegiatan pemberdayaan koperasi dan UMKM yang direncanakan dan diimplementasikan oleh berbagai kementerian dan lembaga; (2) adanya prosedur dan administrasi berbiaya tinggi; (3) keterbatasan dukungan sarana dan prasarana untuk pemberdayaan koperasi dan UMKM; serta (4) kurangnya partisipasi seluruh pemangku kepentingan termasuk pemerintah, organisasi non pemerintah, dan masyarakat dalam pemberdayaan koperasi dan UMKM. Oleh karena itu, sasaran pembangunan yang akan dicapai dalam 5 (lima) tahun ke depan: (1) terlaksananya pemberdayaan koperasi dan UMKM dalam satu program nasional sebagai langkah strategis pemanduan dan penyelarasan program dan kegiatan kementerian dan lembaga sebagai bagian dari upaya meningkatkan kesejahteraan masyarakat terutama mereka yang mengandalkan kehidupan dari koperasi dan kegiatan UMKM; (2) terwujudnya paradigma pemberdayaan koperasi dan UMKM yang lebih koordinatif, bisnis oriented, dan partisipatif; (3) terwujudnya birokrasi yang lebih efisien didasarkan pada pemenuhan kebutuhan dari, oleh dan untuk masyarakat lokal; serta (4) meningkatkan peran lembaga-lembaga masyarakat pendukung koperasi dan UMKM. 2. Permasalahan pengembangan produk dan pemasaran Koperasi dan UMKM masih menghadapi masalah dalam pengembangan produk dan pemasarannya. Permasalahan tersebut meliputi: (1) terbatasnya akses koperasi dan UMKM kepada teknologi dan lembaga litbang; (2) kurangnya kepedulian koperasi dan UMKM mengenai prasyarat mutu dan desain produk dan kebutuhan konsumen; (3) kurangnya insentif untuk berkembangnya lembaga pendukung koperasi dan UMKM; (4) belum terbangunnya prinsip kemitraan dalam satu kesatuan struktur/strategi pengembangan usaha yang bersinergi sesuai dengan rantai nilai (value chain); serta (5) masih adanya gap dalam kebutuhan pertumbuhan UMKM yang tinggi dan ketersediaan sumberdaya. Oleh karena itu, sasaran pembangunan yang akan dicapai adalah (1) tersedianya hasil-hasil teknologi dan litbang yang sesuai dengan kebutuhan dan skala koperasi dan UMKM; (2) meningkatnya kemampuan technopreneurship koperasi dan UMKM; (3) meningkatnya jumlah kapasitas dan jangkauan lembaga penyedia jasa pengembangan dan pembiayaan usaha; (4) berkembangnya jaringan usaha yang berbasis kemitraan yang kuat; serta (5) berkembangnya lembaga pendukung usaha yang dapat memfasilitasi perkembangan potensi dan posisi tawar usaha mikro. 3. Rendahnya kualitas SDM Rendahnya kualitas SDM dicirikan oleh : (a) belum dipertimbangkannya karakteristik wirausaha dalam pengembangan UMKM; (b) rendahnya kapasitas pengusaha skala mikro, kecil dan menengah serta mengelola koperasi; (c) masalah rendahnya motivasi dan budaya wirausaha mikro dalam membangun kepercayaan; serta (d) masih rendahnya tingkat keterampilan dan kapasitas pengelola usaha. Oleh karena itu, sasaran pembangunan yang akan dicapai adalah: (1) berfungsinya sistem pengembangan budaya usaha dan kompetensi wirausaha sesuai dengan karakteristik koperasi dan UMKM; (2) meningkatnya kompetensi teknis dan manajemen pengusaha skala mikro, kecil dan menengah serta pengelola koperasi, terutama dalam menghasilkan produk yang berkualitas, inovatif dan kreatif; dan mengembangkan usaha pemasaran produknya; (3) meningkatnya kualitas dan sistem pengembangan kompetensi usaha skala mikro, kecil dan menengah serta pengelola koperasi; serta (4) meningkatnya budaya wirausaha dan daya tahan usaha mikro.

B. Profil Usaha Kecil di Indonesia 
Banyak istilah yang muncul dalam hubungannya dengan usaha kecil dan menengah (UKM). Ada yang menyebut golongan ekonomi lemah (GEL) atau pengusaha ekonomi lemah (pegel), usaha mikro ada juga yang menggunakan istilah industri kecil dan sedang, serta ada juga menyebut dengan industri rumah tangga. Dalam studi ini digunakan istilah UKM. (Astawa, 2007). Menurut Kementrian Menteri Negara Koperasi dan Usaha Kecil Menengah (Menegkop dan UKM) menyebutkan bahwa Usaha Kecil (UK) termasuk Usaha Mikro (UMI), adalah entitas usaha yang mempunyai memiliki kekayaan bersih paling banyak Rp 200.000.000, tidak termasuk tanah dan bangunan tempat usaha, dan memiliki penjualan tahunan paling banyak Rp 1.000.000.000. Sementara itu, Usaha Menengah (UM) merupakan entitas usaha milik warga negara Indonesia yang memiliki kekayaan bersih lebih besar dari Rp 200.000.000 s.d. Rp 10.000.000.000, tidak termasuk tanah dan bangunan. Kemudian menurut Badan Pusat Statistik (BPS) bahwa UKM berdasarkan kuantitas tenaga kerja, yaitu usaha kecil merupakan entitas usaha yang memiliki jumlah tenaga kerja 5 s.d 19 orang, sedangkan usaha menengah merupakan entitias usaha yang memiliki tenaga kerja 20 s.d. 99 orang. Usaha kecil didefinisikan sebagai perorangan atau badan usaha yang telah melakukan kegiatan/usaha yang mempunyai penjualan/omset per tahun setinggi-tingginya Rp 600.000.000 atau aset/aktiva setinggi-tingginya Rp 600.000.000 (di luar tanah dan bangunan yang ditempati) terdiri dari : (1) bidang usaha (Fa, CV, PT, dan koperasi) dan (2) perorangan (pengrajin/industri rumah tangga, petani, peternak, nelayan, perambah hutan, penambang, pedagang barang dan jasa). Kemudian berdasarkan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2008 tentang Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM) bahwa Usaha Mikro adalah usaha produktif milik orang perorangan dan/atau badan usaha perorangan yang memenuhi kriteria Usaha Mikro sebagaimana diatur dalam Undang-Undang ini. Sedangkan Usaha Kecil adalah usaha ekonomi produktif yang berdiri sendiri, yang dilakukan oleh orang perorangan atau badan usaha yang bukan merupakan anak perusahaan atau bukan cabang perusahaan yang dimiliki, dikuasai, atau menjadi bagian baik langsung maupun tidak langsung dari usaha menengah atau usaha besar yang memenuhi kriteria Usaha Kecil sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang ini dan Usaha Menengah adalah usaha ekonomi produktif yang berdiri sendiri, yang dilakukan oleh orang perseorangan atau badan usaha yang bukan merupakan anak perusahaan atau cabang perusahaan yang dimiliki, dikuasai, atau menjadi bagian baik langsung maupun tidak langsung dengan Usaha Kecil atau usaha besar dengan jumlah kekayaan bersih atau hasil penjualan tahunan sebagaimana diatur dalam Undang-Undang ini. Berdasarkan beberapa definisi UKM di atas, maka penulis dapat menyimpulkan bahwa Usaha Kecil Menengah (UKM) merupakan usaha kecil yang dapat menghasilkan omzet pertahunnya setinggi-tingginya Rp.200.000.000 - Rp.600.000.000 tanpa termasuk tanah dan bangunan. Serta memiliki pekerja 5 s.d 19 orang. sedangkan usaha menengah merupakan entitias usaha yang omset pertahun paling banyak Rp.200.000.000 s.d. Rp Rp.10.000.000.000 (diluar tanah dan bangunan) dengan tenaga kerja 20 s.d. 99 orang yang dilakukan perorangan maupun badan usaha. Dari hasil penelitian yang dilakukan Lembaga Management FE UI tahun 1987 dapat dirumuskan profil usaha kecil di Indonesia seagai berikut : 1. Hampir setengahnya dari perusahaan kecil hanya mempergunakan kapasitas 60% atau kurang. 2. Lebih dari setengah perusahaan kecil didirikan sebagai pengembangan dari usaha kecil-kecilan. 3. Masalah-masalah utama yang dihadapi : a. Sebelum investasi masalah : permodalan, kemudahan usaha (lokasi, izin). b. Pengenalan usaha : pemasaran, permodalan, hubungan usaha. c. Peningkatan usaha : pengadaan bahan/barang. 4. Usaha menurunkan kerena : kurang modal, kurang mampu memasarkan, kurang keterampilan teknis dan administrasi. 5. Mengharapkan bantuan pemerintah berupa modal, pemasaran dan pengadaan barang. 6. 60 % menggunakan teknologi tradisional. 7. 70 % melakukan pemasaran langsung ke konsumen. 8. Untuk memperoleh bantuan perbankan, dipandang terlalu rumit dan dokumen-dokumen yang harus disiapkan. Pengelompokan atau kategorisasi usaha-usaha disuatu negara mempunyai tujuan strategis, antara lain dikaitkan dengan standar kuantitatif tertentu, serta seberapa jauh dapat dimasukkan kedalam jenis- jenis usaha atau bisnis. Tujuan pengelompokan usaha dapat disebutkan beragam dan pada intinya mencakup empat macam tujuan, yaitu sebgai berikut (Partomo dan Soejodono, 2004).: 1. Untuk keperluan analisis yang dikaitkan dengan ilmu pengetahuan (teoritis). 2. Untuk keperluan penentuan kebijakan-kebijakan pemerintah. 3. Untuk meyakinkan pemilik modal atau pengusaha tentang posisi perusahaannya. 4. Untuk pertimbangan badan tertentu berkaitan dengan antisipasi kinerja perusahaan Dalam perspektif perkembangannya, UKM dapat diklasifikasikan menjadi 4 (empat) kelompokyaitu sebagai berikut (Arief Rahmana, 2009) : 1. Livelihood Activities, merupakan UKM yang digunakan sebagai kesempatan kerja untuk mencari nafkah, yang lebih umum dikenal sebagai sektor informal. Contohnya adalah pedagang kaki lima 2. Micro Enterprise, merupakan UKM yang memiliki sifat pengrajin tetapi belum memiliki sifat kewirausahaan 3. Small Dynamic Enterprise, merupakan UKM yang telah memiliki jiwa kewirausahaan dann mampu menerima pekerjaan subkontrak dan ekspor. 4. Fast Moving Enterprise, merupakan UKM yang telah memiliki jiwa kewirausahaan dan akan melakukan transformasi menjadi Usaha Besar (UB). Kemudian ciri-ciri usaha kecil menengah (UKM) adalah sebagai berikut : 1. Bahan baku mudah diperoleh 2. Menggunakan teknologi sederhana sehingga mudah dilakukan alih teknologi 3. Keterampilan dasar umumnya sudah dimiliki secara turun-temurun 4. Bersifat padat karya atau menyerap tenaga kerja yang cukup banyak 5. Peluang pasar cukup luas, sebgaian besar produknya terserap di pasar lokal/domestik dan tidak tertutup sebagian lainnya berpotensi untuk diekspor 6. Melibatkan masyarakat ekonomi lemah setempat, secara ekonomis menguntungkan. Secara umum UKM dalam perekonomian nasional memiliki peran (Departemen Koperasi, 2008) : 1. sebagai pemeran utama dalam kegiatan ekonomi. 2. penyedia lapangan kerja terbesar. 3. pemain penting dalam pengembangan perekonomian lokal dan pemberdayaan masyarakat. 4. pencipta pasar baru dan sumber inovasi. 5. kontribusinya terhadap neraca pembayaran. Oleh karena itu pemberdayaannya harus dilakukan secara terstruktur dan berkelanjutan, dengan arah peningkatan produktivitas dan daya saing, serta menumbuhkan wirusahawan baru yang tangguh. Salah satu keunggulan UKM adalah, ia terkadang sangat lincah mencari peluang untuk berinovasi untuk menerapkan teknologi baru ketimbang perusahaan-perusahaan besar yang telah mapan. Tak mengherankan jika dalam era persaingan global saat ini banyak perusahaan besar yang bergantung pada pemasok-pemasok kecil- menengah. Sesungguhnya ini peluang bagi kta untuk turut berkecimpung di era global sekaligus menggerakkan sektor ekonomi riil (Zuhal, 2010). Dalam buku Economic Development Todaro dalam (Zuhal, 2010) mengemukakan bahwa keberhasilan pembangunan ekonomi Indonesia pascakrisis sangat bergantung pada kemampuan untuk merealisasikan “pembangunan yang benar-benar beorientasi pada rakyat”. UKM atau koperasi dipilih sebagai representasi ekonomi rakyat karena selain menyerap tenaga kerja sekitar 90 persen, juga karena membeli nilai tambah sekitar 56 persen di mana sektor pertanian memegang peran yang sangat besar (sekitar 70 persen). Pada umumnya permasalahan yang dihadapi oleh usaha kecil dan menengah (UKM) antara lain meliputi (Jafar Hafsah, 2004) : 1. Faktor Internal a. Kurangnya permodalan Permodalan merupakan faktor utama yang diperlukan untuk mengembangkan suatu unit usaha. Kurangnya permodalan UKM, oleh karena pada umumnya usaha kecil dan menengah merupakan keuangan lainnya sulit diperoleh, karena persyaratan secara administratif dan teknis yang diminta oleh bank tidak dapat dipenuhi. b. Sumber Daya Manusia (SDM) yang Terbatas Sebagian besar usaha kecil tumbuh secara tradisional dan merupakan usaha keluarga yang turun temurun. Keterbatasan SDM usaha kecil baik dari segi pendidikan formal maupun pengetahuan dan keterampilannya sangat berpengaruh terhadap management pengelolaan usahanya, sehingga usaha tersebut sulit untuk berkembang dengan optimal. Di samping itu dengan keterbatasan SDM-nya, unit usaha tersebut relatif sulit untuk mengadopsi perkembangan teknologi baru untuk meningkatkan daya saing produk yang dihasilkan. c. Lemahnya Jaringan Usaha dan Kemampuan Penetrasi Pasar Usaha kecil yang pada umumnya merupakan unit usaha keluarga, mempuanyai jaringan usaha yang sangat terbatas dan kemampuan penetrasi pasar yang rendah, oleh karena penduduk yang dihasilkan jumlahnya sangat terbatas dan mempunyai kualitas yang kurang kompetitif. Berbeda dengan usaha yang telah mempunyai jaringan yang sudah solid serta didukung dengan teknologi yang dapat menjangkau internasional dan promosi yang baik. 2. Faktor Eksternal a. Iklim Usaha Belum Sepenuhnya Kondusif Kebijaksanaan pemerintah untuk menumbuhkembangkan Usaha Kecil dan Menengah (UKM), meskipun dari tahun ke tahun terus disempurnakan, namun dirasakan belum sepenuhnya kondusif. Hal ini terlihat antara lain masih terjadinya persaingan yang kurang sehat antara pengusaha-pengusaha kecil dengan pengusaha-pengusaha besar. b. Terbatasnya Sarana dan Prasarana Usaha Kurangnya informasi yang berhubungan dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, menyebabkan sarana dan prasarana yang mereka miliki juga tidak cepat berkembang dan kurang mendukung kemajuan usahanya sebagaimana yang diharapkan. c. Impikasi Otonomi Daerah Dengan berlakunya Undang-Undang No.22 tahun 1999 tentang Otonomi Daerah, kewenangan daerah mempunyai otonomi untuk mengatur dan mengurus masyarakat setempat. Perubahan system ini akan mengalami implikasi terhadap pelaku bisnis kecil dan menengah berupa pungutan-pungutan baru yang dikenakan pada usaha kecil dan menengah (UKM). Jika kondisi ini tidak segera dibenahi maka akan menurunkan daya saing Usaha Kecil dan Menengah (UKM). Di samping itu semangat kedaerahan yang berlebihan, kadang menciptakan kondisi yang kurang menarik bagi pengusaha luar daerah untuk mengembangkan usahanya di daerah tersebut. d. Implikasi Perdagangan Bebas Sebagaimana diketahui bahwa AFTA yang mulai berlaku tahun 2003 dan APEC tahun 2020 yang berimplikasi luas terhadap usaha kecil dan menengah untuk bersaing dalam perdagangan bebas. Dalam hal ini, mau tidak mau Usaha Kecil dan Menengah (UKM) dituntut untuk melakukan proses produksi dengan produktif dan efisien, serta dapat menghasilkan produk yang sesuai dengan frekuensi pasar global dengan standar kualitas. e. Sifat produk dengan Lifetime Pendek Sebagian besar produk Industri kecil memiliki ciri atau karakteristik sebagai produk-produk fasion dan kerajinan dengan lifetime yang pendek. f. Terbatasnya Akses Pasar Terbatsanya akses pasar akan menyebabkan produk yang dihasilkan tidak dapat dipasarkan secara kompetitif baik di pasar nasional maupun internasional. Salah satu kelemahan dalam pemberdayaan UKM umumnya bersifat parsial yaitu dibidang permodalan, pemasaran atau bahan baku saja. Tetapi tidak tertutup kemungkinan pada keseluruhan yang merupakan proses dari kegiatan usaha tersebut. Namun karena dimungkinkan oleh banyaknya masalah yang dihadapi UKM serta pendidikan pengelola UKM umumnya rendah, mereka hanya bisa menyebutkan masalah yang ada dalam pikirannya itu sehingga hanya bisa menyebutkan seperti di atas. (Thoha dan Sukarna, 2006) Usaha pemerintah dalam menbantu usaha kecil dan menengah dilakukan di dua arah, yaitu yang berkenaan dengan kebijakan fiskal dan kebijakan moneter. Di kebijakan fiskal pemerintah pusat berusaha untuk meningkatkan dan memberikan bantuan kepada usaha kecil dan usaha menengah agar dapat berkembang dengan baik. Proyek Bimbingan Pengembangan Industri Kecil (BIPIK) dan kegiatan-kegiatan yang dilaksanakan oleh Direktorat Jenderal Industri Kecil merupakan contohnya. Dalam hal kebijakan moneter, pemerintah mengembangkan program khusus kredit lunak untuk menunjang pengembangan perusahaan-perusahaan kecil milik pribumi, seperti KIK (Kredit Investasi Kecil) dan KMKP (Kredit Modal Kerja Permanen). Pengawasan usaha- usaha kecil yang telah dan yang dianggap perlu dibantu melalui badan- badan milik negara juga merupakan bagian dari program kebijakan moneter. (Tejasari, 2008) Para pengusaha kecil mempunyai tiga pilihan untuk mendapatkan modal agar usahanya dapat berjalan, yaitu melalui sumber-sumber resmi seperti bank-bank milik pemerintah, sumber semi resmi seperti koperasi, jasa-jasa sektoral, dan sumber-sumber perorangan. Dalam hal peminjaman modal para pengusaha memiliki berbagai macam pertimbangan. Pertimbangan itu antara lain adalah besar bunga yang harus dibayar, prosedur peminjaman, waktu pencairan modal, atau bantuan apakah cepat atau lambat. (Rahadjo dan Ali, 1993) Faktor pendukung yang sangat penting dalam menjaga keberadaan UKM adalah lembaga keuangan bank dan non-bank. Sebabnya, pembiayaan lembaga kredit lembaga keuangan dapat menggairahkan UKM agar mandiri karena modalnya bertambah. Disini, peranan lembaga keuangan bukan hanya melalui pemberian kredit saja, tetapi juga jasa pelayanan keuangan lainnya yang diarahkan guna meningkatkan efisiensi. Peranan lembaga keuangan tersebut dalam pengembangan UKM dan koperasi bias dilakukan dengan cara-cara berikut: 1. Pendekatan aktivitas, yaitu pendekatan atas dasar aktivitas yang diperlukan UKM seperti kredit, bank garansi, giro, deposito, transfer dan sebagainya. 2. Pendekatan komoditas, yaitu pendekatan atas dasar komoditas yang ditangani UKM seperti pangan, pupuk, hasil perkebunan, hasil industry dan lainnya. 3. Pendekatan program dan non-program, yaitu peranan perbankan yang dapat dikembangkan yang bukan saja untuk penanganan komoditas yang diprogramkan tetapi juga komoditas lain yang tidak diprogramkan. 4. Pendekatan pembinaan, yaitu peran perbankan yang dapat menawarkan berbagai jasa pelayanan keuangan yang diberikan kepada UKM. Kredit adalah penyediaan uang atau tagihan yang dapat dipersamakan dengan itu berdasarkan persetujuan atau kesepakatan pinjam-meminjam antara bank dengan pihak lain yang mewajibkan pihak pinjaman untuk melunasi utangnya setelah jangka waktu tertentu dengan pemberian bunga (BI, 2005) Berdasarkan tujuan penggunannya, Bank Indonesia (1999) membedakan kredit menjadi : 1. Kredit konsumtif merupakan jenis kredit yang diberikan misalnya untuk membeli kendaraan, peralatan, dan lain-lain yang sifatnya untuk tujuan konsumtif. Kredit ini digunakan untuk konsumsi secara pribadi dan dalam kredit ini tidak ada pertambahan barang dan jasa atau badan usaha. 2. Modal kerja untuk membiayai seperti pembelian bahan baku, biaya- biaya produksi, biaya pemasaran: dan lain-lain dalam jangka waktu pendek biasanya satu tahun. Kredit ini digunakan untuk keperluan meningkatkan produksi dalam operasionalnya. 3. Kredit investasi merupakan kredit jangka menengah atau jangka panjang untuk pembelian barang-barang modal beserta jasa yang diperlukan untuk rehabilitasi, modernisasi, maupun eksapansi proyek yang sudah ada atau pendirian proyek baru. Ada 2 pengertian tenaga kerja yaitu sebagai berikut (Ignatia Rohana Sitanggang dan Nachrowi Djalal, 2004) : 1. Tenaga kerja umumnya tersedia di pasar kerja, dan biasanya siap untuk di gunakan dalam suatu proses produksi barang dan jasa. Kemudian perusahaan atau penerima tenaga kerja meminta tenaga kerja dari pasar tenaga kerja. Apabila tenaga kerja tersebut bekerja, maka mereka akan mendapat imbalan jasa berupa upah/gaji. 2. Tenaga kerja yang terampil merupakan potensi sumber daya menusia yang sangat dibutuhkan dalam setiap perusahaan dalam mencapai tujuannya. Jumlah penduduk dan angkatan kerja yang besar, di satu sisi merupakan potensi sumber daya manusia yang dapat diandalkan, tetapi di sisi lain juga merupakan masalah besar yang berdampak pada berbagai sektor. Jumlah penyerapan atau permintaan tenaga kerja di pengaruhi oleh: upah (dalam hal ini sudah dipengaruhi oleh unsur produktivitas dan inflasi), output (PDRB), net migration (dengan motivasi ekonomi), dan populasi (dalam hal ini sudah termasuk unsur birth dan deadh). Permintaan tenaga kerja berkaitan dengan perencanaan tenaga kerja merupakan suatu rencana yang memuat pendayagunaan tenaga kerja yang optimum, efisien dan produktif guna pertumbuhan ekonomi/sosial secara nasional, sektoral dan regional yang bertujuan untuk mengurangi pengagguran dan meningkatkan kesejahteraan pekerja. Perubahan struktur tenaga kerja merupakan penjelasan lebih lanjut dari eksistensi perubahan struktur ekonomi. Hill (1996) berpendapat bahwa perubahan distribusi penyerapan tenaga kerja sektoral biasanya terjadi lebih lambat dibandingkan dengan perubahan peranan output secara sektoral, mengingat proses perpindahan tenaga kerja sangat lambat terutama bagi tenaga kerja yang berasal dari sektor denagn produktivitas rendah seperti sektor pertanian. (Ignatia Rohana Sitanggang dan Nachrowi Djalal, 2004) Pasar tenaga kerja di Indonesia dapat dibedakan atas sektor informal dan formal. Sektor formal atau sektor modern mencakup perusahaan-perusahaan yang mempunyai status hukum, pengakuan dan izin resmi serta umumnya berskala besar. Sebaliknya sektor informal merupakan sektor yang memiliki karakteristik sebagai berikut: (1) Kegiatan usaha umumnya sederhana; (2) Skala usaha relatif kecil; (3) Usaha sektor informal umumnya tidak memiliki izin usaha; (4) Untuk bekerja di sektor informal biasanya lebih mudah daripada di sektor formal; (5) Tingkat penghasilan umumnya rendah; (6) Keterkaitan antar sektor informal dengan usaha lain sangat kecil; (7) Usaha sektor informal sangat beraneka ragam. Dalam hal ini sektor informal merupakan indikasi dari UKM. (Cahyono, 1983) Investasi adalah penanaman modal untuk satu atau lebih aktiva yang dimiliki biasanya berjangka panjang dengan harapan mendapatkan keuntungan dimasa yang akan datang sebagai kompensasi secara profesional atas penundaan konsumsi, dampak inflasi dan resiko yang ditanggung. Keputusan investasi dapat dilakukan individu, dari investasi tersebut yang dapat berupa capital gain/loss dan yield. Investasi dapat dilakukan dalam bentuk investasi pada aspek fisik (real asset) dan investasi pada aset finansial (financial asset). Aset fisik adalah aset yang mempunyai wujud secara fisik, sedangkan asset finansial adalah surat-surat berharga yang pada umumnya adalah klaim atau aktiva riel dari suatu entitas. Alasan seorang investor melakukan investasi adalah untuk mendapatkan kehidupan yang lebih baik di masa yang akan datang serta untuk menghindari merosotnya nilai kekayaan yang dimiliki. Investasi juga dapat diartikan sebagai suatu komitmen atas sejumlah dana atau sumber daya lainnya yang dilakukan pada saat ini dengan tujuan untuk memperoleh keuntungan di masa yang akan datang. Dalam hal ini adalah investasi yang dilakukan investor pada sektor UKM (Usaha Kecil Menengah). Masih kurangnya minat investor asing ke Indonesia disebabkan oleh berbagai kendala, yang pada akhirnya menghambat usaha para investor atau menyebabkan pemindahan usaha ke negara lain. Masalah-masalah yang dihadapi, antara lain: (1) rendahnya kepastian hukum antara lain tercermin dari tertundanya penyelesaian Undang-undang Penanaman Modal; (2) prosedur perijinan dan tata cara pelayanan yang birokratis, lama, dan mahal;(3) rendahnya insentif investasi yang diberikan; (5) belum meratanya infrastruktur dan rusaknya sejumlah infrastruktur di daerah telah menghambat buruh.

C. UKM terhadap Pertumbuhan Ekonomi 
Pertumbuhan ekonomi adalah proses dimana terjadi kenaikan produk bruto riil atau pendapatan riil. Jadi perekonomian dikatakan tumbuh atau berkembang bila terjadi pertumbuhan outputriil. Definisi pertumbuhan ekonomi yang lain adalah bahwa pertumbuhan ekonomi terjadi bila ada kenaikan output perkapita. Pertumbuhan ekonomi menggambarkan kenaikan taraf hidup diukur dengan output riil per orang. Menurut Sadono Sukirno (1996), pertumbuhan dan pembangunan ekonomi memiliki definisi yang berbeda, yaitu pertumbuhan ekonomi ialah proses kenaikan output perkapita yang terus menerus dalam jangka panjang. Pertumbuhan ekonomi tersebut merupakan salah satu indikator keberhasilan pembangunan. Dengan demikian makin tingginya pertumbuhan ekonomi biasanya makin tinggi pula kesejahteraan masyarakat, meskipun terdapat indikator yang lain yaitu distribusi pendapatan. Pertumbuhan ekonomi adalah proses kenaikan output dalam jangka panjang. Pengertian tersebut mencakup tiga aspek, yaitu proses, output perkapita, dan jangka panjang. Jadi, dengan bukan bermaksud menggurui, pertumbuhan ekonomi merupakan suatu proses, bukan gambaran ekonomi atau hasil pada saat itu. Boediono menyebutkan secara lebih lanjut bahwa Pertumbuhan ekonomi juga berkaitan dengan kenaikan output perkapita. Di Indonesia harapan untuk membangkitkan ekonomi rakyat sering kita dengarkan karena pengalaman ketika krisis multidimensi tahun 1997-1998 usaha kecil telah terbukti mampu mempertahankan kelangsungan usahanya, bahkan memainkan fungsi penyelamatan di beberapa sub-sektor kegiatan. Fungsi penyelamatan ini segera terlihat pada sektor-sektor penyediaan kebutuhan pokok rakyat melalui produksi dan normalisasi distribusi. Bukti tersebut paling tidak telah menumbuhkan optimisme baru bagi sebagian besar orang yang menguasai sebagian kecil sumber daya akan kemampuannya untuk menjadi motor pertumbuhan bagi pemulihan ekonomi. Harapan ini menjadi semakin kuat ketika muncul keberanian untuk mempercepat pemulihan dengan motor pertumbuhan UKM. Pergeseran sesaat dalam kontribusi UKM terhadap perekonomian nasional maupun daerah pada saat krisis yang belum berhasil dipertahankan menyisakan pertanyaan tentang faktor dominan apa yang membuat harapan tersebut tidak terwujud. Dalam analisis makroekonomi pertumbuhan ekonomi diartikan sebagai tingkat pertambahan dari pendapatan per kapita. Pertumbuhan ekonomi ini digunakan untuk menggambarkan bahwa suatu perekonomian telah mengalami perkembangan dan mencapai taraf kemakmuran yang lebih tinggi. Pertumbuhan ekonomi di suatu negara dapat dilihat dari laju pertumbuhan PDB. Laju pertumbuhan PDB yang merupakan tingkat output diturunkan dari fungsi produksi suatu barang dan jasa. Fungsi produksi menurut mankiw (2003). Berdasarkan statistik UKM tahun 2004-2005 sektor ekonomi yang mempunyai proporsi unit terbesar adalah sektor (1) Pertanian, Peternakan, Kehutanan dan Perikanan; (2) Perdagangan, Hotel dan Restoran; (3) Industri Pengolahan; (4) Pengangkutan dan Komunikasi; dan (5) Jasa-Jasa. Sedangkan sektor ekonomi yang mempunyai proporsi unit usaha terkecil berturut-turut yaitu sektor (1) Sektor Pertambangan dan Penggalian; (2) Bangunan; (3) Keuangan, Persewaan, dan Jasa Perusahaan; dan terakhir (4) Listrik, Gas dan Air Bersih.

D. Data UKM Kota Banjarbaru 
Di Kota Banjarbaru terdapat 6.151 pengusaha kecil baik di sektor formal maupun non formal dan berhasil menyerap tenaga kerja sebanyak 11.946 orang. Tabel 1 Pengusaha Kecil Formal dan Informa Tahun 2011
Kecamatan Jumlah Pengusaha Kecil Tenaga Kerja
Tetap Lepas Keluarga Jumlah
Landasan Ulin 1.970 1.125 219 230 3.544
Liang Anggang 580 720 233 227 1.760
Cempaka 679 526 129 130 1.464
Banjarbaru Utara 1.540 735 118 148 2.541
Banjarbaru Selatan 1.383 909 126 220 2.637
Jumlah/Total 6.151 4.015 825 955 11.946
2010 5.960 3.946 749 884 11.539
2009 2.926 2.715 165 135 5.941
2008*) - - - - -
2007 1.264 2.076 2.047 1.242 6.629
*) Data tidak tersedia Sumber : Dinas Koperasi dan Usaha Mikro, Kecil dan Menengah Source : Cooperative and Micro, Small and Medium Services Sumber ; Banjarbaru dalam Angka, Tahun 2012
Berdasarkan data yang diperoleh dari dinas perindustrian, perdagangan, pertambangan dan energy, jumlah pedagang besar di tahun 2011, berjumlah 127 orang dan jumlah pedagang kecil sebanyak 283 orang, baik yang bergerak di formal maupun informal.

E. Permasalahan UKM Kota Banjarbaru 
Permasalahan yang dihadapi UKM Kota Banjarbaru, meliputi: kualitas SDM pelaku UKM; akses terhadap sumberdaya produktif seperti keterbatasan permodalan dan akses teknologi; masalah infrastruktur,seperti pasar yang representatif dan sarana jalan yang memudahkan bagi UKM untuk menjual hasil usahanya; dan masalah birokrasi pemerintah, seperti kualitas dan kuantitas sumberdaya aparatur pemerintah dalam pembinaan dan pendampingan bagi UKM. 1. Kualitas SDM Pelaku UKM Di satu sisi, kapasitas dan kualitas para pengelola UKM sebagian besar masih rendah, dengan memiliki keahlian teknis, kompetensi, kewirausahaan dan manajemen seadanya; Di sisi lain, pelaku UKM sulit berkembang karena tidak mencapai skala usaha yang ekonomis, dengan badan usaha yang perorangan, pengelolaan usaha yang tertutup serta legalitas usaha dan administrasi kelembagaan yang tidak memadai. Gambaran pelaku UKM di kota Banjarbaru, berdasarkan tingkat pendidikan dan kelompok umur, sebagai berikut : Tabel 2 Jumlah Pelaku UKM menurut tingkat Pendidikan yang ditamatkan
Tingkat Pendidikan Jumlah Persen
1. Tidak Tamat SD 2.894 16,39
2. Tamat SD 4.486 25,41
3. Tamat SMTP 2.750 15,57
4. Tamat SMTA 5.644 31,97
5.SM/DIII dan DIV/S1 1.881 10,66
Jumlah/Total 17.655 100
Pertama, berdasarkan tingkat pendidikan yang ditamatkan, proporsi antara pengusaha UKM yang tamat SMTA sedikit lebihnya banyak (31,93%) dibandingkan dengan yang tamat SD dan SMTP yaitu masing-masing 25,41% dan 15,57%. Sedangkan pengusaha UKM yang tidak menamatkan pendidikan SD/sederajat mencapai 16,39%. Pengusaha UKM yang berpendidikan diploma ke atas mencapai 10,66%. Hal ini menunjukkan bahwa kualitas SDM pelaku UKM di kota Banjarbaru perlu ditingkatkan. Kedua, Dari pelaku UKM yang berjumlah 17.655, pengelompokan pelaku UKM berdasarkan umur, menunjukkan prosentase sebagai berikut: (1) Pelaku UKM berumur 20-24 tahun sebanyak 8,20%; (2) Pelaku UKM berumur 25-44 tahun sekitar 63,11%; (3) Pelaku UKM berumur 45-64 tahun mencapai 24,59%; dan (4) Pelaku UKM berumur di atas 65 tahun hanya sekitar 2,46%. Hal ini menunjukkan bahwa pengusaha UKM di kota Banjarbaru pada umumnya merupakan pengusaha muda (25-44 tahun). Berdasarkan gambaran pelaku UKM tersebut menunjukkan bahwa pelaku UKM pada umumnya berusia muda dan hanya sedikit diantaranya yang menamatkan pendidikan tinggi. Oleh karena itu, perlu dilakukan upaya peningkatan kualitas pendidikan terhadap pelaku UKM berusia muda. 2. Akses Terhadap Sumberdaya Produktif Terbatasnya akses UKM terhadap sumberdaya produktif. Akses terhadap sumberdaya produktif terutama terhadap permodalan; akses teknologi, bahan baku, sarana pemasaran dan informasi pasar dengan permasalahan mendasar sebagai berikut : a. Pertama, masalah permodalan: UKM menghadapi masalah ketersediaan dana/modal sendiri yang terbatas, tingkat pendapatan rendah, asset jaminan dan administrasi tidak memenuhi persyaratan perbankan. Akibatnya, UKM kurang tersentuh oleh lembaga pembiayaan, dan ada diantara UKM yang terjerat pihak ketiga/rentenir. Besar kecilnya modal yang ditanamkan akan sangat mempengaruhi perputaran usaha dan perkembangan UKM. Sumber modal dari suatu usaha menunjukkan kondisi yang sah secara hukum atas kepemilikan modal usaha. Kondisi pelaku UKM kota Banjarbaru dapat ditinjau dari proporsi dan sumber kepemilikan modal, sebagai berikut. (1) Proporsi kepemilikan modal, dapat dikategorikan menjadi 3 (tiga) kelompok (Bappeda Banjarbaru, 2009): (a) Modal seluruhnya milik sendiri, mencapai 78,40% pelaku UKM; (b) Modal sebagian berasal dari pihak lain, mencapai 13,56% pelaku UKM; (c) Modal seluruhnya berasal dari pihak lain, sebanyak 8,04% pelaku UKM. (2) Sumber modal : (a) Pinjaman dari bank sebagai modal, dilakukan oleh 10% pelaku UKM; (b) Pinjaman keluarga/family, dilakukan oleh 20% pelaku UKM; (c) Pinjaman perorangan, dilakukan oleh 15% pelaku UKM, (d) Modal pinjaman dari koperasi dan/atau pinjaman lainnya dilakukan oleh 55% pelaku UKM. (3) Alasan rendahnya pelaku UKM melakukan pinjaman modal dari bank: Dari data Bappeda tahun 2009 diketahui bahwa : (a) Pelaku UKM yang menyatakan tidak berminat mencapai 46,09%; (b) Pelaku UKM yang menyatakan tidak ada agunan sekita 17,39%; (c) Pelaku UKM yang menyatakan prosedurnya sulit sekitar 13,91%; (d) Pelaku yang mempunyai alasan lain seperti ketidaktahuan prosedur, suku bunga tinggi dan usulan ditolak mencapai 22,61%. b. Keterbatasan akses teknologi Keterbatasan akses teknologi disebabkan UKM menggunakan teknologi sederhana dan kurang memanfaatkan teknologi yang lebih memberikan nilai tambah produk usahanya. Kondisi ini mengakibatkan rendahnya produktivitas dan daya saing produk UKM, akses pasar terbatas pada pasar local dan pasar regional. Di lain pihak, keterbatasan akses teknologi berhubungan dengan penguasaan pasar dan daya saing produk UKM. Dalam kondisi demikian, produk dari Negara lain yang mempunyai akses teknologi yang lebih baik akan lebih mudah masuk di pasaran, sedangkan produk UKM dalam negeri menjadi terdesak. Lebih-lebih karena mulai berlakunya Asean Free Trade Area (AFTA) dan ASEAN-China Free Trade Agreement (ACFTA) mulai tahun 2010.

F. Pemberdayaan UKM Kota Banjarbaru 
Berdasarkan permasalahan UKM kota Banjarbaru sebagaimana telah dikemukakan, meliputi permasalahan kualitas SDM pelaku UKM; terbatasnya akses UKM terhadap sumberdaya produktif; masuknya produk negara lain; masalah pembangunan infrastruktur; dan masalah pembangunan birokrasi pemerintah daerah; maka pemerintah daerah kota Banjarbaru perlu melakukan pemberdayaan UKM sesuai dengan Instruksi Presiden No. 3/2010 tentang Program Pembangunan yang Berkeadilan, yang menginstruksikan antara lain program penanggulangan kemiskinan berupa perluasan penyaluran kredit dengan sasaran meningkatnya jumlah kredit dan debitur usaha mikro dan kecil. Selain itu, diperlukan pengembangan SDM UKM; serta peningkatan produktivitas dan optimalisasi koordinasi sesuai dengan permasalahan yang dihadapi. 1. Pengembangan SDM UKM a. Pengembangan SDM merupakan bagian dari upaya penumbuhan kualitas dan jumlah wirausaha. Dalam hal ini aspek penting dalam pengembangan SDM berkaitan dengan kewirausahaan, perkoperasian, manajerial, keahlian teknis dan keterampilan dasar (live skill). Upaya peningkatan daya saing SDM UKM dilakukan dengan: b. Pengembangan sistem penumbuhan wirausaha baru dengan cara merumuskan dan mengembangkan kebijakan mendorong, mengembangkan dan membantu pelaksanaan pendidikan, pelatihan dan penyuluhan kewirausahaan; serta membentuk dan mengembangkan lembaga diklat untuk melakukan pendidikan, pelatihan, penyuluhan motivasi dan kreativitas bisnis keahlian teknis dan ketrampilan dasar (live skill) dan penciptaan wirausaha baru. c. Peningkatan kapasitas SDM UKM dengan cara merumuskan dan mengembangkan kebijakan; Pengembangan keahlian dan keterampilan teknis dan peningkatan penerapan manajemen manajemen modern; d. Pengembangan kelembagaan diklat UKM dengan cara merumuskan dan mengembangkan kebijakan; revitalisasi dan penumbuhan lembaga diklat melalui kerasama dan kemitraan dengan perguruan tinggi, swasta nasional. 2. Peningkatan Akses UKM terhadap Sumberdaya Produktif Permodalan merupakan salah satu kebutuhan penting yang diperlukan untuk memajukan dan mengembangkan UKM. Pemerintah melalui kebijakannya telah berupaya menyediakan berbagai skema kredit dan bantuan permodalan yang dibutuhkan UKM. Namun kenyataannya dilapangan menunjukkan bahwa kredit permodalan yang disediakan pemerintah tersebut sulit didapatkan oleh pelaku UKM. Di satu pihak, pelaku UKM dengan keterbatasan modal sulit memenuhi administrasi dan persyaratan perbankan seperti agunan dan jaminan lain yang dapat menghubungkan dengan bank. Di lain pihak, sistem perbankan dan situasi perbankan yang kurang memberikan toleransi agar UKM dapat akses dengan modal. Hal ini ditopang juga oleh lembaga pendukung seperti lembaga penjaminan dan lembaga pelayanan jasa kurang berkembang dan terkoordinir untuk membangun iklim kondusif agar pengusaha memiliki akses permodalan, sehingga saling terkait satu dengan yang lain. Konsepsi penyusunan strategi pengembangan akses UKM untuk dapat mengakses modal dari masyarakat ini tentunya akan sulit untuk dapat dilakukan sendiri oleh UKM. Peran pemerintah dalam memberdayakan UKM dibutuhkan. Peran pemerintah sebagai regulator adalah sangat ideal, karena peran pemerintah yang selama ini banyak didasarkan pada pendekatan fasilitator untuk masa sekarang dan beberapa tahun ke depan nampaknya akan semakin sulit. Peran sebagai regulator juga adalah sangat sesuai dengan konsepsi pembangunan ekonomi rakyat yang sekarang lebih diarahkan pada pemberdayaan (empowering). Pemberdayaan UKM dapat dilakukan melalui kebijakan kemitraan. Strategi ini nampaknya akan lebih efektif dibandingkan dengan peran pemerintah sebagai fasilitator yang menggunakan strategi servicing.Arah kebijakan ini ditujukan untuk peningkatan akses UKM kepada sumberdaya produktif terutama berkaitan dengan jangkauan dan jenis sumberdaya produktif terutama berkaitan dengan jangkauan dan jenis sumber pembiayaan yang sesuai dengan kebutuhan dan perkembangan UKM, khususnya melalui KUR (Kredit Usaha Rakyat) sebagai bagian penting untuk meningkatkan usaha masyarakat yang dapat menurunkan tingkat kemiskinan. Sumberdaya produktif dimaksud juga berkaitan dengan peningkatan akses teknologi, akses pasar dan pemasaran bagi UKM. Peningkatan akses kepada sumberdaya produktif diantaranya berkaitan secara langsung dengan pembiayaan. Oleh karena itu, strategi pengembangannya ditujukan kepada penguatan permodalan bagi UKM dalam berbagai bentuk skim kredit khususnya KUR, dan berbagai bentuk skim lainnya yang bersesuaian dengan kondisi dan kebutuhkan UKM, termasuk pembiayaan setelah sertifikasi tanah. Untuk memberikan cakupan yang lebih luas selain dukungan dan pembiayaan langsung kepada pelaku usaha. Dalam hal ini, perlu diupayakan solusi penurunan suku bunga pinjaman dan berbagai kemudahan khususnya bagi kredit kecil. Selain aspek dukungan pembiayaan dalam restrukturisasi usaha perlu dikembangkan berbagai bentuk peningkatan perbaikan struktur kemampuan usaha yang berkaitan langsung dengan pembiayaan bagi UKM dalam bentuk restrukturisasi manajemen dan kelembagaan usaha, peningkatan produktivitas dan mutu, pemberdayaan lembaga pengembangan bisnis, fasilitasi investasi UKM dan pengembangan sistem bisnis. 3. Peningkatan Produktivitas Arah kebijakan ini ditujukan untuk peningkatan produktivitas UKM, melalui berbagai strategi antara lain informasi teknologi tepat guna, pelatihan penerapan teknologi, fasilitasi penerapan teknologi, standar kualitas mutu produksi dan kemitraan penerapan teknologi. 4. Optimalisasi Koordinasi Arah kebijakan ini ditujukan untuk mewujudkan pemberdayaan UKM yang lebih koordinatif dan partisipatif, didukung peningkatan peran lembaga-lembaga swasta dan masyakat, menyediakan regulasi/kebijakan nasional dan daerah yang mendukung pemberdayaan UKM. Aspek penting dalam peningkatan iklim usaha adalah pengembangan kebijakan yang memudahkan dan berpihak kepada tumbuh kembangnya UKM secara nasional. Termasuk dalam hal ini adalah penataan peraturan perundang-undangan di bidang UKM, sinkronisasi peraturan perundangan-undangan tingkat nasional dan daerah. Pemberdayaan UKM di kota Banjarbaru perlu ditunjang oleh peraturan daerah/peraturan walikota terkait dengan pembentukan forum dan peningkatan koordinasi, peningkatan kemampuan dan kualitas khususnya aparat daerah, pengembangan dan dukungan kegiatan dalam rangka peningkatan nilai tambah produk unggulan UKM daerah. Selain itu, diperlukan pengembangan model dalam penerapan teknologi dan hasil-hasil kajian dan penelitian yang sesuai dengan kebutuhan UKM termasuk pengembangan sistem dan jaringan informasinya.

G. Implikasi 
Kajian ini memiliki beberapa implikasi diantaranya adalah sebagai berikut: 1. Salah satu faktor yang mendukung dalam pertumbuhan UKM yaitu investasi pada sektor UKM. Hal tersebut berdasarkan penelitian yang menunjukan bahwa investasi pada UKM dapat memberikan nilai tambah secara signifikan terhadap peningkatan UKM. Sehingga perhatian pada UKM dapat diberikan dengan meningkatkan investasi pada UKM. Langkah tersebut dapat berupa perbaikan iklim usaha dan permudahan izin usaha dalam investasi. 2. Peluang ekspor semakin meningkat dan terbuka terutama penyediaan barang- barang non migas, serta menuntut peningkatan perhatian pemerintah mengingat pada saat ini ekonomi mulai membaik. Sehingga pemerintah harus meminimalisir hambatan dan tantangan dalam mengakses pasar global ke depan. 3. Peningkatan pendidikan dan skill pada tenaga kerja UKM sehingga produktifitas meningkat yang menjadikan output UKM yang dihasilkan mampu bersaing di pasar global. Dengan demikia pula akan meningkatkan taraf kesejahreaan yang ditandai dengan kenaikan pendapatan perkapita pada tenaga kerja UKM dan mengurangi pengangguran.

DAFTAR PUSTAKA
Ates, Aylin and Umit Bititci. 2007. Strategy management in small to medium-sized enterprises: Evidence from UK manufacturing SMEs. Strathclyde Institute for Operations Management, University of Strathclyde, Glasgow UK.
Badan Pusat Statistik. 2008. Statistik Indonesia. Jakarta: BPS.
Badan Pusat Statistik. 2012. Banjarbaru Dalam Angka. Banjarbaru: BPS.
Bank Indonesia. 1997-2007. Statistik Ekonomi dan Keuangan Indonesia. Jakarta: Bank Indonesia.
Cahyono, B. 1983. Pengembangan Kesempatan Kerja. Yogyakarta: BPFE. Departemen Koperasi. 2008. PDB, Investasi, Tenaga Kerja, Nilai Ekspor UKM
Daryanto, Arief dan Yundy Hafizrianda. 2010. Model-model Kuantitatif untuk Perencanaan Pembangunan Ekonomi Daerah: Konsep dan Aplikasi. Bogor: IPB Press. Ghalia, Jakarta.
Gujarati, Damodar. 1999. Ekonometrika Dasar. Jakarta: Erlangga.
Ikhsan, M. 2004. Mengembalikan Laju Pertumbuhan Ekonomi Dalam Jangka Menegah: Peran Usaha Kecil dan Menengah. Jurnal Analisis Sosial 9 (2):1- 31Jafar, Mohammad Hafsah.2004. “ Upaya Pengembangan Usaha Kecil Dan Menengah (UKM)”, Infokop Nomor 25 Tahun XX, 2004. Indonesia. Depkop. Jakarta.
Kuncoro, M. 1996. Ekonomi Pembangunan: Teori, Masalah dan Kebijakan. UMP KMP YPPM, Yogyakarta.
Lembaga Administrasi Negara, 2011. Laporan Akhir Kajian Pengembangan dan Instrumentasi Kebijakan Pengelolaan Ekonomi Daerah, Jakarta.
Mankiw, N Gregory, 2007. Makro Ekonomi. Jakarta: Erlangga.
Nengah, I Dasi Astawa. 2007. Pemberdayaan UKM dan Koperasi di Kabupaten Jembrana Provinsi Bali. Jurnal Ekonomi/Tahun XXI, No.01, Maret 2007:78- 95.
Partomo, T. dan A. Soejodono. 2004. Ekonomi Skala Kecil/Menengah dan Koperasi.
Rafinaldy, Neddy. 2004. Prospek Pengembangan Ekspor UKM. Infokop Nomor 25 Tahun XX, 2004.
Rahardjo, M. D., dan F. Ali. 1993. Faktor-faktor keuangan yang mempengaruhi usaha keil dan menengah di Indonesia, dalam K. James dan N. Akrasanee, Aspek-aspek Finansial Usaha Kecil dan Menengah: Studi kasus Asean, Jakarta: LP3ES
Rohana Sitanggang, Ignatia dan Nachrowi Djalal. 2004. Pengaruh Struktur Ekonomi pada penyerapan tenaga kerja Sektoral: Analisis Model Demometrik di 30 Propinsi pada 9 sektor di Indonesia, Jurnal Ekonomi dan Pembangunan Indonesia jurnal Vol No.01, Juli, 2004.
Samitasa, Aristeidis G dan Dimitris F. 2005. Entrepreneurship, small and medium size business markets and European economic integration. Journal of Policy Modeling 27.
Soetrisno, Noer. 2004 Posisi dan Peran Pembangunan UKM 2004-2009. Infokop Nomor 25 Tahun XX.
Sukirno, Sadono. 2007. Ekonomi Pembangunan (Proses, masalah, dan kebijakan).
Tambunan, Tulus. 2002. Usaha Kecil dan Menengah di Indonesia: Beberapa Isu Penting. Jakarta: Salemba Empat.
Tejasari, Maharani. 2008. Peranan Sektor Usaha Kecil dan Menengah dalam penyerapan Tenaga Kerja dan Pertumbuhan Ekonomi [Skripsi]. Fakultas Ekonomi dan Manajemen. Institut Pertanian Bogor, Bogor.
Thoha, M. 2001. Dinamika Usaha Kecil dan Rumah Tangga. LIPI. Jakarta.
Thoha, Mahmud dan Sukarna. 2006. Pemberdayaan UKM melalui Modal Ventura dalam Upaya Pengentasan Kemiskinan di Indonesia. Jurnal Ekonomi dan Pembangunan (JEP), XIV (2) 2006.
Todaro, Michael P and Stephen C smith, 2006. Economic Development. Jakarta: Erlangga.
Widya A, Santikajaya. 2006. Analisis Dampak Perkembangan Usaha Kecil Menengah terhadap Pertumbuhan Ekonomi Regional Indonesia: Metode Data Panel Tahun 1998-2004. Fakultas Ekonomi. Universitas Indonesia.
Winarno, Wing Wahyu. 2007. Analisis Ekonometrika dan Statistika dengan Eviews. UPP STIM YKPN. Yogyakarta.
Yudi Setianto, Anton. 2008. Panduan Lengkap Mengurus Perijinan dan Dokumen. Jakarta: Sahabat.
Zuhal, 2010. Knowledge and Innovation Platform Kekuatan Daya Saing. Jakarta: Gramedia.
 

Posting Komentar

0 Komentar