BAB
I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Masalah
Pada umumnya ada tiga permasalahan yang biasa dihadapi
pemerintah daerah yaitu ketidakefektifan, inefesiensi dan private inurement (penggunaan dana untuk kepentingan individu). Hal
ini disebabkan karena ketidak tertiban terhadap mekanisme pertanggungjawaban yang
baku. Pada pemerintahan daerah idak mengenal kepemilikan (self interest) yang dapat memaksakan pencapaian tujuan sebagaimana pada
perusahaan-perusahaan swasta yang berpedoman kepada bisnis. Pemerintah daerah juga
tidak mementingkan faktor persaingan yang seringkali digunakan sebagai alat untuk
meningkatkan efesiensi, disamping itu, pemerintah daerah tidak memilki barometer
keberhasilan seperti pada organisasi bisnis sehingga sulit untuk menentukan tingkat
keberhasilan dari pemerinta daerah.
Ada beberapa faktor yang diduga penyebab kinerja pemerintah
daerah rendah diantaranya karena sistem pengelolaan keuangan daerah yang masih lemah
dimulai dalam proses perencanaan dan penganggaran APBD, pelaksanaan/penatausahaan
APBD, pertanggungjawaban yang berupa pelaporan hasil pelaksaaan APBD dan pengawasan.
Dalam proses penganggaran, pemerintah daerah selalu mengalami keterlambatan di dalam
pengesahan perda APBD. Keterlambatan ini menyebabkan banyak program dan kegiatan
yang tidak dapat dilaksanakan untuk tahun anggaran berjalan sehingga terjadi keterlambatan
pembangunan daerah tersebut.
APBD mempunyai fungsi otorisasi, perencanaan,
pengawasan, alokasi, distribusi, dan stabilisasi. APBD, perubahan APBD, dan
pertanggungjawaban pelaksanaan APBD setiap tahun ditetapkan dengan peraturan
daerah. APBD yang disusun oleh pemerintah daerah telah mengalami perubahan dari
yang bersifat incramental menjadi
anggaran berbasis kinerja sesuai dengan tuntutan reformasi.
Anggaran berbasis kinerja dikenal dalam
pengelolaan keuangan daerah sejak diterbitkannya PP nomor 105 tahun 2000 yang
dalam pasal 8 dinyatakan bahwa APBD disusun dengan pendekatan kinerja.
Penerapan anggaran berbasis kinerja pada instansi pemerintah di Indonesia
dicanangkan melalui pemberlakuan UU nomor 17 tahun 2003 tentang keuangan negara
dan diterapkan secara bertahap mulai tahun anggaran 2005.
Pengelolaaan keuangan daerah dimulai dengan
perencanaan /penyusunan anggaran pendapatan belanja daerah (APBD). APBD disusun
sesuai dengan kebutuhan penyelenggaraan pemerintahan dan kemampuan pendapatan
daerah. Penyusunan APBD sebagaimana berpedoman kepada RKPD dalam rangka
mewujudkan pelayanan kepada masyarakat untuk tercapainya tujuan bernegara.
Dilihat dari aspek masyarakat (customer) dengan adanya peningkatan
pelayanan dan kesejahteraan masyarakat yang semakin baik maka dapat
meningkatnya tuntutan masyarakat akan pemerintah yang baik, hal ini menjadi
tantangan tersendiri bagi pemerintah untuk bekerja secara lebih efisien dan
efektif terutama dalam menyediakan layanan prima bagi seluruh masyarakat.
Dilihat dari sisi pengelolaan keuangan daerah khususnya Pendapatan Asli Daerah
(PAD) maka kontribusi terhadap APBD meningkat tiap tahun anggaran hal ini
didukung pula dengan tingkat efektivitas dari penerimaan daerah secara
keseluruhan sehingga adanya kemauan dari masyarakat untuk membayar kewajibannya
kepada Pemerintah Daerah dalam bentuk pajak dan retribusi.
Aspek
sumber daya manusia (SDM) adanya kemampuan aparat pengelola walaupun belum
memadai dalam jumlah sesuai dengan kebutuhan tiap unit/satuan kerja daerah
tetapi dalam pengelolaan keuangan daerah dapat memberikan pelayanan yang sebaik
mungkin kepada masyarakat. Hal ini dapat dilihat dari kontribusi penerimaan daerah
sendiri serta tingkat efektivitas dan efisiensi yang semakin meningkat tiap
tahun anggaran namun demikian perlu ada pembenahan dalam arti daerah harus
memanfaatkan kewenangan yang diatur dalam perundang- undangan.
Dalam penatausahaan dan pelaksanaan APBD satuan kerja
perangkat daerah masih mengalami kendala, misalkan dalam pemahaman mereka dalam
pembuatan dokumen-dokumen yang diperlukan untuk pelaksanaan APBD. Misalkan dokumen
Surat Permintaan Pembayaran (SPP), Surat Perintah Membayar (SPM), Surat Pertanggungjawaban
(SPJ) dan dokumen pelangkap lainnya. Kendala ini disebabkan tingkat pemahaman staf
yang terlibat atas peraturan tentang pengelolaaan keuangan daerah masih rendah.
Hampir di semua aspek pengelolaaan keuangan daerah,
satuan kerja perangkat daerah memiliki kelemahan sehingga dapat dikatakan kinerja
satuan kerja perangkat daerah masih belum optimal dalam pelaksanaannya. Di satu
sisi, semakin meningkat tekanan dari masyarakat agar pemerintah daerah meningkatkan
kinerja dan akuntabilitas demi terwujudnya good
governance menyebabkan pemerintah daerah harus membenahi diri untuk merespon
perubahan yang diinginkan oleh masyarakat sebagai stakeholder. Satuan kerja perangkat daerah diharapkan memiliki kinerja
yang baik yaitu dengan memperbaiki kualitas pelayanan kepada masyarakat dan adanya
peningkatan kehidupan dan kesejahteraan masyarakat.
Pemberian otonomi daerah menurut Undang-undang Nomor
32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang
Nomor 12 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua atas Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004
tentang Pemerintahan Daerah dan telah ditetapkan menjadi Undang-Undang, ditekankan
pada prinsip demokrasi, keadilan, pemerataan keistimewaan, kekhususan, memperhatikan
potensi dan keanekaragaman daerah, serta partisipasi masyarakat dalam sistem Negara
Kesatuan Republik Indonesia.
Prinsip-prinsip tersebut, telah membuka peluang dan
kesempatan yang luas kepada daerah otonomi untuk melaksanakan kewenangannya secara
mandiri, luas, nyata dan bertanggung jawab dalam mewujudkan kesejahteraan masyarakat.
Kesejahteraan masyarakat dapat dilakukan melalui peningkatan mutu pelayanan, pemberdayaan
dan peran serta masyarakat serta daya saing daerah. Dalam penyelenggraan pemerintahan
daerah melalui fungsi-fungsi manajemen yang meliputi perencanaan, organisasi, pelaksanaan
dan pengawasan, merupakan sarana yang harus ada dan dilaksanakan oleh manajemen
secara profesional dan dalam rangka pencapaian sasaran tujuan organisasi secara
efektif dan efisien. Dalam otonomi daerah struktur organisasi tidak sentralistik
melainkan dekosentrasi, yang pada saat ini Indonesia sedang dalam proses implementasi
desentralisasi dengan intensitas yang tinggi.
Terdapat perbedaan yang mendasar dalam penetapan APBD
antara sebelum dan sesudah otonomi daerah yaitu dalam struktur sentralisasi, penetapan
APBD didasarkan pada Keputusan pihak-pihak tertentu (Kepala Daerah dan Sekretaris
Daerah), masing-masing satuan kerja perangkat daerah (SKPD) kurang berperan dalam
proses penyusunan anggaran. Anggaran sangat diperlukan dalam pengelolaan sumber
daya dengan baik untuk mencapai kinerja yang diharapkan, sedangkan dalam struktur
desentralisasi Penyusunan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) harus berdasarkan
partisipasi, kejelasan sasaran anggaran dan struktur yang terdesentralisasi yang
berlandaskan pada:
1. UU No. 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah Cq.
UU No. 12 tahun 2008 tentang Perubahan kedua atas UU No. 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan
Daerah.
2. UU No. 17 tahun 2003 tentang Keuangan Negara.
3. UU No. 1 tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara.
4. UU No. 15 tahun 2004 tentang Pemeriksaan Pengelolaan
dan Tanggung Jawab Keuangan Negara.
5. UU No. 25 tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan
Nasional.
6. UU No. 33 tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan
antara Pemerintah Pusat dan Daerah.
7. PP No. 20 tahun 2004 tentang Rencana Kerja Pemerintah.
8. PP No. 58 tahun 2005 tentang Pokok-pokok Pengelolaan
Keuangan Daerah.
9. PP No. 79 tahun 2005 tentang Pedoman Pembinaan dan
Pengawasan Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah.
10. PP No. 8 tahun 2006 tentang Pelaporan Keuangan dan
Kinerja Instansi Pemerintah.
11. PP No. 3 tahun 2007 tentang Laporan Penyelenggaraan
Pemerintahan Daerah kepada Pemerintah, Laporan Keterangan Pertanggungjawaban Kepala
Daerah kepada Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, dan Informasi Laporan Penyelenggaraan
Pemerintahan Daerah kepada masyarakat.
12. PP No. 41 tahun 2007 tentang Organisasi Perangkat
Daerah.
13. Permendagri No. 13 tahun 2006 tentang Pedoman Pengelolaan
Keuangan Daerah cq. Permendagri No. 59 tahun 2007 tentang Perubahan atas Permendagri
No. 13 tahun 2006 tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah.
14. Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 13 Tahun
2006 tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah sebagaimana telah diubah
beberapa kali terakhir dengan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 21 Tahun
2011 tentang Perubahan kedua Atas Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 13 Tahun
2006 tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah.)
Anggaran menjadi sangat penting dan relevan di pemerintahan
daerah, karena anggaran berdampak terhadap kinerja pemerintah yang dikaitkan dengan
fungsi pemerintah dalam memberi pelayanan kepada masyarakat. Anggaran merupakan
alat untuk mencegah informasi asimetri dan perilaku disfungsional dari pemerintah
daerah (Yuhertiana, 2003) serta merupakan proses akuntabilitas publik (Bastian,
2001). Disamping itu, anggaran merupakan dokumen/kontrak politik antara pemerintah
dan DPRD untuk masa yang akan datang (Mardiasmo, 2002). Selanjutnya DPRD akan mengawasi
kinerja pemerintah melalui anggaran. Bentuk pengawasan ini sesuai dengan agency theory, dimana pemerintah sebagai
agent dan DPRD sebagai principal. Fungsi pengawasan DPRD terhadap Pemerintah Daerah
bersifat pengawasan kebijakan dan bukan pengawasan teknis.
Pengawasan atas penyelenggaraan Pemerintahan Daerah
oleh Pemerintah, Gubernur dan Bupati/Walikota adalah proses kegiatan yang ditujukan
untuk manjamin agar penyelenggaraan Pemerintahan Daerah dan pemerintahan desa berjalan
sesuai dengan rencana dan ketentuan peraturan perundang-undangan, termasuk dalam
hal penyusunan anggaran dan pelaksanaan anggaran yang telah ditetapkan. Pengawasan
ini dilakukan oleh aparat pengawas intern pemerintah sesuai dengan bidang kewenangannya
masing-masing. Disamping pengawasan tersebut pengawasan oleh masyarakat (sosial
kontrol) diperlukan dalam mewujudkan peran serta masyarakat guna menciptakan penyelenggaraan
pemerintahan yang efektif, efisien, bersih dan bebas dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme
(KKN).
Kenis (1979) mengatakan terdapat 2 (dua) karakteristik
sistem penganggaran yaitu partisipasi dalam penyusunan anggaran dan kejelasan sasaran
anggaran. Dalam penyusunan APBD, pemerintah daerah telah menerapkan partisipasi
setiap satuan kerja dalam penyusunan anggaran. Masing-masing SKPD memuat Rencana
Kerja Anggaran (RKA) yang biasa disebut RKA SKPD. Dalam RKA SKPD, masing- masing
SKPD telah memuat indikator kinerja yang akan dicapai untuk setiap program dan kegiatan
yang akan dilaksanakan. Dalam RKA telah memuat input, output dan outcome dari masing-masing
program dan kegiatan, jadi dalam RKA telah memuat sasaran anggaran.
Sistem pengelolaan keuangan merupakan suatu
kerangka dari prosedur-prosedur yang saling berhubungan yang disusun sesuai
dengan suatu skema yang menyeluruh, untuk melaksanakan suatu kegiatan atau fungsi
utama dari suatu organisasi, sedangkan prosedur adalah suatu urut-urutan
pekerjaan yang biasanya melibatkan beberapa orang dalam satu bagian atau lebih,
disusun untuk menjamin adanya perlakuan yang seragam terhadap
transaksitransaksi yang terjadi dalam suatu organisasi. Berdasarkan pengertian
tersebut di atas maka salah satu unsur yang paling penting dalam
penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan di daerah adalah sistem atau cara
pengelolaan keuangan daerah secara berdayaguna dan berhasilguna. Hal tersebut
diharapkan agar sesuai dengan aspirasi pembangunan dan tuntutan masyarakat yang
semakin berkembang akhir- akhir ini.
Pengelolaan Keuangan Daerah adalah keseluruhan
kegiatan yang meliputi perencanaan, pelaksanaan, penatausahaan, pelaporan,
pertanggungjawaban, dan pengawasan keuangan daerah. Pengelolaan keuangan daerah
yang diatur dalam peraturan menteri ini meliputi kekuasaan pengelolaan keuangan
daerah, azas umum dan struktur APBD, penyusunan rancangan APBD, penetapan APBD,
penyusunan dan penetapan APBD bagi daerah yang belum memiliki DPRD, pelaksanaan
APBD, perubahan APBD, pengelolaan kas, penatausahaan keuangan daerah, akuntansi
keuangan daerah, pertanggungjawaban pelaksanaan APBD, pembinaan dan pengawasan
pengelolaan keuangan daerah, kerugian daerah, dan pengelolaan keuangan BLUD.
Berdasarkan fenomena di atas dan peneliti termotivasi
untuk meneliti lebih lanjut tentang hubungan partisipasi anggaran, kejelasan sasaran
anggaran dan struktur organisasi yang terdesentralisasi dengan kinerja manajerial
pemerintah.
Berdasarkan kondisi di atas maka penulis tertarik
melakukan sebuah penelitian dengan
permasalahan yang akan dibahas dalam
penelitian ini adalah seberapa besar pengaruh partisipasi dalam penyusunan anggaran,
kejelasan sasaran anggaran dan struktur desentralisasi terhadap kinerja pengelolaan
anggaran SKPD dengan judul : “Pengaruh Partisipasi
Penyusunan Anggaran, Kejelasan Sasaran Anggaran dan Struktur Desentralisasi
Anggaran Terhadap Kinerja Pengelolaan Anggaran Skpd Di Lingkungan Pemerintah Kota
Banjarbaru”.
1.2. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah yang telah diuraikan
di atas maka dapat dirumuskan permasalahan penelitian adalah sebagai berikut :
1.
Apakah
berpengaruh secara simultan variabel partisipasi penyusunan anggaran, kejelasan
sasaran anggaran dan struktur desentralisasi anggaran terhadap kinerja
pengelolaan anggaran SKPD di lingkungan Pemerintah Kota Banjarbaru ?.
2.
Apakah
berpengaruh secara parsial variabel partisipasi penyusunan anggaran, kejelasan
sasaran anggaran dan struktur desentralisasi anggaran terhadap kinerja
pengelolaan anggaran SKPD di lingkungan Pemerintah Kota Banjarbaru ?.
3.
Mana
diantara variabel partisipasi penyusunan anggaran, kejelasan sasaran anggaran
dan struktur desentralisasi anggaran yang berpengaruh dominan terhadap kinerja
pengelolaan anggaran SKPD di lingkungan Pemerintah Kota Banjarbaru ?.
1.3. Tujuan Penelitian
Adapun tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui
dan menganalisis pengaruh partisipasi penyusunan
anggaran, kejelasan sasaran anggaran dan struktur desentralisasi anggaran
terhadap kinerja pengelolaan anggaran SKPD di lingkungan Pemerintah Kota
Banjarbaru, yang dapat diuraikan sebagai berikut :
1. Untuk mengetahui pengaruh secara simultan variabel
partisipasi penyusunan anggaran, kejelasan sasaran anggaran dan struktur
desentralisasi anggaran terhadap kinerja pengelolaan anggaran SKPD di
lingkungan Pemerintah Kota Banjarbaru.
2. Untuk mengetahui pengaruh secara parsial variabel
partisipasi penyusunan anggaran, kejelasan sasaran anggaran dan struktur
desentralisasi anggaran terhadap kinerja pengelolaan anggaran SKPD di
lingkungan Pemerintah Kota Banjarbaru.
3. Untuk mengidentifikasi variabel partisipasi
penyusunan anggaran, kejelasan sasaran anggaran dan struktur desentralisasi
anggaran, mana diantara ketiga variabel tersebut yang berpengaruh dominan terhadap
kinerja pengelolaan anggaran SKPD di lingkungan Pemerintah Kota Banjarbaru.
1.4. Kegunaan Penelitian
Penelitian ini diharapkan memberikan manfaat sebagai
berikut :
1.
Aspek
praktis, sebagai bahan masukan bagi Pemerintah
Daerah Kota Banjarbaru dalam perumusan kebijakan tentang peningkatan kinerja
pengelolaan anggaran SKPD di lingkungan
Pemerintah Kota Banjarbaru.
2.
Aspek
akademis, sebagai bahan yang menambah khasanah penelitian di Program Pascasarjana Magister Manajemen Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi Pancasetia
Banjarmasin.
3.
Aspek
bagi pengembangan ilmu pengetahuan, sebagai bahan yang menambah pengetahuan dan
wawasan bagi peneliti dibidang ilmu manajemen sumber daya manusia, khususnya mengenai
pengelolaan sumberdaya aparatur yang melaksanakan pengelolaan anggaran.
4.
Bahan
referensi ataupun acuan bagi peneliti selanjutnya terutama bagi peneliti yang berminat
mengadakan penelitian dengan kajian yang sama dimasa yang akan datang.
BAB
II
TINJAUAN
PUSTAKA
2.1. Landasan Teori
2.1.1. Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah
Berdasarkan pasal 1 ayat (9) Peraturan Menteri Dalam
Negeri Nomor 13 tahun 2006 tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah, dimaksudkan
dengan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah yang selanjutnya disebut dengan APBD
adalah rencana keuangan tahunan pemerintah daerah yang harus disetujui bersama oleh
pemerintah daerah dengan DPRD dan ditetapkan dengan peraturan daerah. Penyusunan
APBD itu sendiri merupakan suatu proses yang panjang melalui beberapa tahapan yang
dimulai dengan penjaringan aspirasi masyarakat (jaring asmara) yang kemudian dibahas
melalui Rapat koordinasi Pembangunan (Rakorbang) pada tiap tingkatan.
Adapun Rakorbang pada tiap tingkatan mulai dari tingkat
Kelurahan, Kecamatan dan Kota adalah :
1. Musyawarah Rencana Pembangunan (Musrenbang) Kelurahan
diselenggarakan untuk mensinkronkan berbagai Program Pembangunan yang sesuai dengan
kebutuhan masyarakat yang diperoleh dari penjaringan aspirasi masyarakat di wilayahnya,
menjadi usulan yang terpadu untuk dilaksanakan di Kelurahan dan atau dibahas dalam
forum Musrenbang Kecamatan.
2. Musrenbang Kecamatan diselenggarakan untuk mensinkronkan
hasil-hasil perencanaan partisipatif dari tingkat Kelurahan dalam satu wilayah Kecamatan,
dengan rencana Pembangunan dari Satuan Kerja Perangkat Daerah Kota Banjarbaru dilingkup
Kecamatan yang bersangkutan sehingga menjadi suatu 9 usulan yang terpadu untuk dibahas
ke Musrenbang Daerah Kota Banjarbaru.
3. Musrenbang Kota diselenggarakan untuk menghasilkan
kesepakatan dan komitmen diantara para pelaku pembangunan (Pemda, Masyarakat, Perguruan
tinggi, Dunia Usaha) atas program/kegiatan dan anggaran tahunan daerah. Pengambilan
keputusan dilakukan secara partisipatif dengan berpedoman pada perencanaan pembangunan
daerah.
Untuk penyusunan APBD tahun 2014 sebagaimana diamantkan
dalam lampiran Peraturan Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia Nomor 27 Tahun
2013 tentang Pedoman Penyusunan Anggaran Pendapatan Dan Belanja Daerah Tahun
Anggaran 2014 disebutkan Langkah-langkah yang harus dilakukan oleh pemerintah daerah
dalam penyusunan APBD tahun anggaran 2014 yaitu :
1. Penyusunan RKPD
2. Penyampaian Rancangan KUA dan Rancangan PPAS oleh
Ketua TAPD kepada kepala daerah
3. Penyampaian Rancangan KUA dan Rancangan PPAS oleh
kepala daerah kepada DPRD
4. Kesepakatan antara kepala daerah dan DPRD atas
Rancangan KUA dan Rancangan PPAS
5. Penerbitan Surat Edaran kepala daerah perihal
Pedoman penyusunan RKASKPD dan RKA-PPKD
6. Penyusunan dan pembahasan RKA-SKPD dan RKA-PPKD
serta penyusunan Rancangan Perda tentang APBD
7. Penyampaian Rancangan Perda tentang APBD kepada DPRD
8. Pengambilan persetujuan bersama DPRD dan kepala
daerah
9. Menyampaikan Rancangan Perda tentang APBD dan
Rancangan Perkada tentang Penjabaran APBD kepada MDN/Gub untuk dievaluasi
10. Hasil evaluasi Rancangan Perda tentang APBD dan
Rancangan Perkada tentang Penjabaran APBD
11. Penyempurnaan Rancangan Perda tentang APBD sesuai
hasil evaluasi yang ditetapkan dengan keputusan pimpinan DPRD tentang
penyempurnaan Rancangan Perda tentang APBD
12. Penyampaian keputusan DPRD tentang penyempurnaan
Rancangan Perda tentang APBD kepada MDN/Gub
13. Penetapan Perda tentang APBD dan Perkada tentang
Penjabaran APBD sesuai dengan hasil evaluasi
14. Penyampaian Perda tentang APBD dan Perkada
tentang Penjabaran APBD kepada MDN/Gub
Terkait dengan penganggaran APBD, maka dalam penelitian
ini pembahasan dibatasi pada penyusunan dan pembahasan RKA-SKPD. Sesuai dengan surat
edaran yang diterima dari kepala daerah, maka masing-masing SKPD menyusun RKA dengan
menggunakan format sebagaimana diatur dalam lampiran Peraturan Menteri Dalam Negeri
Nomor 59 tahun 2007 sebagai berikut :
1. RKA-SKPD (Ringkasan Anggaran Pendapatan, Belanja dan
Pembiayaan SKPD)
2. RKA-SKPD 1 (Rincian Anggaran Pendapatan SKPD)
3. RKA-SKPD 2.1 (Rincian Anggaran Belanja Tidak Langsung)
4. RKA-SKPD 2.2 (Rekapitulasi Rincian Anggaran Belanja
Tidak Langsung menurut Program dan Kegiatan SKPD)
5. RKA-SKPD 2.2.1 (Rincian Anggaran Belanja Langsung
menurut Program dan Kegiatan)
RKA-SKPD yang didukung oleh rinciannya yaitu RKA-SKPD
1 dan RKA-SKPD 2.1 dan 2.2 dihimpun oleh Tim Anggaran Pemerintah Daerah (TAPD) yang
dikoordinasikan oleh Sekretaris Daerah untuk dibahas dan dinilai kesesuaian antara
RKA-SKPD dengan KUA dan PPA. Adapun Format RKA-SKPD sebagaimana dimuat dalam lampiran
Permendagri No. 59 tahun 2007 antara lain berisi nama program, nama kegiatan, indikator
kinerja, tolok ukur kinerja, target kinerja (input, output dan outcome), objek belanja
dan rincian objek belanja serta dilengkapi dengan nomor rekening Setelah RKA dari
Seluruh SKPD dikompilasi oleh Pejabat Pengelola Keuangan Daerah (PPKD) sebagai dasar
penyusunan RAPBD, maka struktur APBD dapat disusun sebagai berikut :
1. Anggaran Pendapatan
2. Anggaran Belanja dan
3. Anggaran Pembiayaan
Proses selanjutnya adalah TAPD mempersiapkan rancangan
peraturan daerah tentang RAPBD, kemudian disampaikan kepada DPRD untuk dibahas dalam
sidang paripurna dan ditetapkan menjadi APBD dengan Peraturan Daerah tentang APBD.
2.1.2. Partisipasi Penyusunan Anggaran
Partisipasi adalah suatu proses pengambilan keputusan
bersama oleh dua pihak atau lebih yang mempunyai dampak masa depan bagi pembuat
dan penerima keputusan dan mengarah pada seberapa besar tingkat keterlibatan aparat
pemerintah daerah dalam menyusun anggaran daerah serta pelaksanaannya untuk mencapai
target anggaran tersebut. Jadi partisipasi dalam penyusunan anggaran dapat diartikan
merupakan keikutsertaan seseorang dalam menyusun dan memutuskan anggaran secara
bersama. Sukses atau gagalnya para staf dalam suatu SKPD dalam melaksanakan anggaran
adalah merupakan suatu refleksi langsung tentang keberhasilan ataupun kegagalan
SKPD dalam melaksanakan tugas dan tanggung jawab yang diembannya. Disamping itu
tingkat partisipasi para staf dalam penyusunan anggaran akan mendorong moral kerja
yang tinggi dan inisiatif serta kegairahan pegawai SKPD.
Moral kerja yang tinggi merupakan kepuasan seseorang
terhadap pekerjaannya dan rekan sekerjanya. Moral kerja ditentukan oleh seberapa
besar seseorang mengidentifikasikan dirinya sebagai bagian dari organisasi tersebut
dan sejauhmana ia dilibatkan dalam proses penyusunan rencana serta pengambilan keputusan.
Partisipasi ini dapat dilakukan dalam berbagai kegiatan, yang seluruhnya dapat disebutkan
sebagai partisipasi dalam memecahkan masalah. Kemampuan mewujudkan dan membina partisipasi
salam memecahkan masalah itu, akan bermuara pada perkembangan rasa tanggung jawab
dalam melaksanakan setiap tugas secara operasional (Nawawi dan Martini, 2004 ; 171).
Penelitian sebelumnya menunjukkan adanya hubungan antara partisipasi penyusunan
anggaran dengan kinerja manajerial, seperti Kenis (1979), Brownel (1984), Brownell
dan McClunes (1986), Frucat dan Shearon (1991), Indriantoro (2000), Lusyanda (2001),
Adoc (2002), Syafruddin (2005), Suhartono dan Halim (2005).
Partisipasi aparat pemerintah daerah dalam proses
penyusunan anggaran pemerintah daerah adalah menunjukkan pada seberapa besar tingkat
keterlibatan aparat pemerintah daerah yang terlibat dalam proses penganggaran daerah,
diberi kesempatan untuk ambil bagian dalam pengambilan keputusan melalui negosiasi
terhadap anggaran. Hal ini sangat penting, karena aparat pemerintah daerah akan
merasa produktif dan puas terhadap pekerjaannya sehingga memungkinkan munculnya
perasaan berprestasi yang akan meningkatkan kinerjanya. Kunci dari kinerja yang
baik adalah apabila tujuan dari anggaran tercapai dan partisipasi dari bawahan atau
para staf memegang peranan penting dalam pencapaian tujuan (Kenis 1979).
Pada umumnya semakin besar keterlibatan para pegawai
SKPD dalam merumuskan sesuatu hal yang dapat menghasilkan keputusan dalam SKPD,
maka sangat tinggi rasa tanggung jawab mereka untuk mensuksuskan kesepakatan atau
keputusan tersebut dapat terlaksana dengan baik. Partisipasi ini juga sangat mudah
diterima oleh semua pihak karena mengandung asas musyawarah dan mufakat, sehingga
terdapat kegairahan untuk terus bekerja dalam melaksanakan hal-hal yang telah disepakati
bersama dengan baik, tanpa ada pimpinan atau tidak disamping mereka (Effendy ; 1989;185).
Melibatkan para pegawai SKPD dalam sistem perencanaan
berarti menghargai kebutuhan untuk sebuah lingkungan kerja yang nyaman dan ramah,
yang mendukung terlaksananya komunikasi yang baik, karena gagasan mereka akan dihargai
dan diterapkan merupakan kepuasan tersendiri. Begitu pula halnya dalam proses penyusunan
anggaran, apabila para pegawai SKPD ikut berpartisipasi untuk merumuskannya, maka
besar kemungkinan hasil yang akan diperoleh dari realisasi anggaran jauh lebih baik
karena adanya tanggung jawab moril. Bagaimanapun anggaran hanya efektif jika mendapat
dukungan dari semua pihak dan untuk mengusahakan supaya anggaran ini mendapat dukungan
dari bawahan maka dapat ditempuh melalui cara penyusunan secara demokratis atau
bottom up. Jika ditinjau dari siapa yang
membuat anggaran tersebut, maka penyusunan anggaran dimaksud dapat dilakukan dengan
cara campuran. Penggunaan cara demokrasi inilah yang dimaksud dengan penyusunan
anggaran partisipatif, karena disusun berdasarkan hasil keputusan bersama,
terutama yang bersumber dari bawahan.
2.1.3. Kejelasan Sasaran Anggaran
Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah sebagai rencana
kerja pemerintah daerah merupakan desain teknis pelaksanaan strategi untuk mencapai
tujuan daerah. Jika kualitas anggaran Pemerintah daerah rendah, maka kualitas fungsi-fungsi
pemerintah cendrung lemah. Anggran daerah seharusnya tidak hanya berisi mengenai
informasi pendapatan dan penggunaan dana (belanja), tetapi harus menyajikan informasi
mengenai kondisi kinerja yang ingin dicapai. Anggaran Pemerintah daerah harus bisa
menjadi tolak ukur pencapaian kinerja yang diharapkan, sehingga perencanaan anggaran
pemerintah daerah harus bisa menggambarkan sasaran kinerja secara jelas.
Menurut Kenis (1979), kejelasan sasaran anggaran merupakan
sejauhmana tujuan anggaran ditetapkan secara jelas dan spesifik dengan tujuan agar
anggaran tersebut dapat dimengerti oleh orang yang bertanggung jawab atas pencapaian
sasaran anggaran tersebut. Oleh sebab itu sasaran anggaran pemerintah daerah harus
dinyatakan secara jelas, spesifik dan dapat dimengerti oleh mereka yang bertanggung
jawab untuk melaksanakannya. Locke (1968) dalam Kenis (1979) menyatakan bahwa penetapan
tujuan spesifik akan lebih produktif. Hal ini akan mendorong karyawan/ Staf untuk
melakukan yang terbaik bagi pencapaian tujuan yang dikehendaki sehingga berimplikasi
pada peningkatan kinerja. Beberapa penelitian seperti Lathan dan Yuki (1975), Streers
(1976), Ivancevich (1976) dalam kenis (1979), Darma (2004) menunjukkan adanya pengaruh
positif antara kejelasan sasaran anggaran dan sasaran anggaran yang spesifik dengan
kinerja pegawai.
Locke (1968) dalam Kenis (1979) menyatakan kejelasan
sasaran anggaran disengaja untuk mengatur perilaku pegawai. Ketidak jelasan sasaran
anggaran akan menyebabkan pelaksanaan anggaran menjadi tidak terarah. Hal ini menyebabkan
pelaksana anggaran tidak termotivasi untuk mencapai kinerja yang diharapkan. Kenis
(1979) menemukan bahwa pelaksana anggaran memberikan realisasi positif dan secara
relatif sangat kuat untuk meningkatkan kejelasan sasaran anggaran. Reaksi tersebut
adalah peningkatan kepuasan kerja, penurunan ketegangan kerja, peningkatan sikap
pegawai terhadap anggaran, kinerja anggaran dan efisiensi biaya pada pelaksana anggaran
secara signifikan jika sasaran anggaran dinyatakan secara jelas. Kenis juga menyatakan
bahwa anggaran tidak hanya sebagai alat perencanaan dan pengendalian biaya dan pendapatan
dalam pusat pertanggungjawaban dalam suatu organisasi, sisi lain anggaran juga merupakan
alat bagi manajerial SKPD untuk mengkoordinasikan, mengkomunikasikan, mengevaluasi
kinerja dan memotivasi bawahannya. Jones dan Pendelbury (1996) mengatakan anggaran
seharusnya bisa memotivasi secara optimal terhadap pegawai, begitu juga Mardiasmo
(2002) mengatakan anggaran merupakan alat motivasi bagi pegawai.
Riyanto (2003) menyatakan hubungan karakteristik anggaran,
dalam hal ini kejelasan sasaran anggaran, dengan kinerja dipengaruhi oleh faktor-faktor
individual yang bersifat psychological atribute.
Efektif atau tidaknya kejelasan sasaran anggaran sangat ditentukan oleh psycological
atribute, sehingga faktor-faktor individual tersebut sangat dipengaruhi oleh kejelasan
sasaran anggaran dalam menilai kinerja pegawai SKPD.
Kejelasan sasaran anggaran akan membantu pegawai untuk
mencapai kinerja yang diharapkan, dimana dengan mengetahui sasaran anggaran tingkat
kinerja dapat tercapai. Pencapaian kinerja ini akan terkait dengan motivasi, dimana
hal ini disebabkan dengan motivasi yang tinggi akan membantu pegawai untuk mencapai
kinerja yang diharapkan. Dengan kata lain, kinerja pegawai akan dipengaruhi oleh
kejelasan sasaran anggaran.
2.1.4. Struktur Desentralisasi
Tingkat atau intensitas partisipasi anggaran dan derajat
struktur organisasi yang terdesentralisasi akan meningkatkan atau menurunkan kinerja
orang yang terlibat dalam partisipasi dan struktur tersebut. Yang menjadi perhatian
dan menimbulkan perbedaan pandangan adalah adanya faktor-faktor lain yang merupakan
faktor moderating ataupun intervening yang diidentifikasi dan diteliti dalam penelitian
sektor publik (Pemerintah Daerah) di Indonesia yaitu hubungan antara partisipasi
anggaran dan Struktur organisasi yang terdesentralisasi dengan kinerja pegawai.
Struktur organisasi desentralisasi secara umum ditujukan
dengan pengambilan keputusan yang terjadi dalam organisasi. Dalam struktur sentralisasi
yang tinggi, sebagian keputusan diambil pada tingkat hirarki organisasi yang tertinggi,
dan apabila sebagian otorisasi didelegasikan pada level yang rendah dalam organisasi,
maka organisasi tersebut lebih desentralisasi.
Adapun definisi desentralisasi menurut Simon (1989)
yaitu suatu organisasi administratif adalah sentralisasi yang luas apabila keputusan
yang dibuat pada level organisasi yang tinggi, desentralisasi yang luas apabila
keputusan didelegasikan dari top up kepada
level yang rendah dari wewenang eksekutif. Dengan demikian desentraslisai akan membuat
tanggung jawab yang lebih besar kepada pegawai SKPD dalam melaksanakan tugasnya,
serta memberikan kebebasan dalam bertindak. Dengan desentralisasi akan meningkatkan
independensi pegawai SKPD dalam berfikir dan bertindak dalam satu tim tanpa mengorbankan
kebutuhan organisasi. Desentralisasi membutuhkan keseimbangan manajerial SKPD yang
independen dengan timnya dan komitmennya pada organisasi.
Siegel dan Marconi (1989) mengemukakan beberapa alasan
suatu organisasi membentuk struktur desentralisasi yaitu :
1. Akan memberikan waktu yang lebih banyak pada keputusan
stratejik jangka panjang dari keputusan operasi.
2. Dapat membuat organisasi memberikan respon yang lebih
cepat dan efektif pada suatu masalah.
3. Sistem ini tidak memungkinkan untuk mendapatkan seluruh
kebutuhan yang optimal.
4. Akan menghasilkan dasar Training yang baik untuk kepada
pegawai dimasa yang akan datang
5. Memenuhi kebutuhan otonomi dan kemudian menjadi alat
motivasi yang kuat bagi pegawai SKPD.
Desentralisasi akan menunjukkan tingkat otonomi yang
didelegasikan pada pegawai SKPD sehingga pegawai SKPD mempunyai tanggung jawab yang
lebih besar terhadap perencanaan dan pengendalian aktivitas operasi serta membutuhkan
informasi yang lebih banyak. Jadi organisasi yang strukturnya lebih terdesentralisasi
seperti pelaksanaan otonomi daerah di Indonesia, para manajerial SKPD mempunyai
otonomi yang lebih besar dalam proses pengambilan atau penetapan keputusan.
Otonomi pengambilan keputusan ini antara lain meliputi
tanggung jawab pimpinan kepala dinas atau badan secara keseluruhan terhadap unit
kerja yang dipimpinnya. Sebelum diberlakukan otonomi daerah tanggungjawab fisik
dan keuangan diemban oleh Pejabat Pelaksana Teknis kegiatan dan bendahara Pembantu
Pengeluran, maka sejak otonomi daerah Kepala SKPD yang bertanggung jawab secara
langsung terhadap kegiatan-kegiatan yang dilaksanakan tersebut. Dengan otonomi yang
semakin tinggi ini, dapat diprediksikan bahwa Kepala SKPD akan lebih bertanggung
jawab, selanjutnya kinerja pegawai juga menjadi semakin meningkat. Dengan kata lain,
semakin struktur terdesentraslisasi organisasi di pemerintahan daerah, maka semakin
tinggi pula kinerja SKPD dalam menjalankan penelolaan keuangan daerah.
2.1.5. Kinerja Pengelolaan Keuangan Daerah
Kinerja (performance) dapat diartikan sebagai
aktivitas terukur dari suatu entitas selama periode tertentu sebagai bagian
dari ukuran keberhasilan pekerjaan. Performance
Measurement atau pengukuran kinerja menurut kamus yang sama diartikan
sebagai suatu indikator keuangan atau non keuangan dari suatu pekerjaan yang dilaksanakan atau hasil
yang dicapai dari suatu aktivitas suatu
proses atau suatu unit organisasi.
Dalam
penelitian ini, istilah yang penulis maksudkan tentang Kinerja Keuangan
Pemerintahan Daerah adalah tingkat pencapaian dari suatu hasil kerja di bidang
keuangan daerah yang meliputi penerimaan dan belanja daerah dengan menggunakan
indikator keuangan yang ditetapkan melalui suatu kebijakan atau ketentuan
perundang-undangan selama satu periode anggaran. Bentuk dari pengukuran kinerja
tersebut berupa rasio keuangan yang terbentuk dari unsur laporan
pertanggungjawaban Kepala Daerah perhitungan APBD.
Kinerja
merupakan suatu prestasi atau tingkat keberhasilan yang dicapai oleh individu
atau suatu organisasi dalam melaksanakan pada suatu periode tertentu. Menurut
Stoner (1986:477) kinerja (performance)
merupakan kuantitas dan kualitas pekerjaan yang diselesaikan oleh individu,
kelompok atau organisasi. Pada sektor pemerintahan, kinerja dapat diartikan
sebagai suatu prestasi yang dicapai oleh pegawai pemerintah atau instansi
pemerintah dalam melaksanakan pelayanan kepada masyarakat dalam suatu periode.
Kinerja sebagai hasil kerja yang dapat dicapai
oleh seseorang atau sekolompok orang dalam suatu organisasi sesuai dengan
wewenang dan tanggung jawab masing-masing dalam upaya mencapai tujuan
organisasi yang bersangkutan secara legal, tidak melanggar hukum dan sesuai
dengan moral dan etika (Prawirosentono, 1999).
Dalam konteks organisasi pemerintah daerah,
pengukuran kinerja SKPD dilakukan untuk menilai seberapa baik SKPD tersebut
melakukan tugas pokok dan fungsi yang dilimpahkan kepadanya selama periode
tertentu. Pengukuran kinerja SKPD merupakan wujud dari vertical accountability yaitu pengevaluasian kinerja bawahan oleh atasannya
dan sebagai bahan horizontal
accounntability pemerintah daerah yaitu kepada masayarakat atas amanah yang
diberikan kepadanya.
Menurut Henderson
and Bruce Performance Measure for
NPOs (Not for Profit Organizations)
dalam Journal of Accounting Januari 2002 mengemukakan terdapat indikator
pengukuran kinerja organisasi non profit antara lain:
a. Customer
focused
b. Balanced
c. Timely
d. Cost Effective
e. Compatible
and Comparable
Parker (1996:3) menyebutkan lima manfaat adanya
pengukuran kinerja suatu entitas pemerintahan, yaitu:
1. Pengukuran kinerja meningkatkan mutu pengambilan
keputusan.
Seringkali keputusan yang diambil pemerintah
dilakukan dalam keterbatasan data dan berbagai pertimbangan politik serta
tekanan dari pihak-pihak yang berkepentingan. Proses pengembangan pengukuran
kinerja ini akan memungkinkan pemerintah untuk menentukan misi dan menetapkan
tujuan pencapaian hasil tertentu. Di samping itu dapat juga dipilih metode
pengukuran kinerja untuk melihat kesuksesan program yang ada. Di sisi lain, adanya
pengukuran kinerja membuat pihak legislatif dapat memfokuskan perhatian pada
hasil yang didapat, memberikan evaluasi yang benar terhadap pelaksanaan
anggaran serta melakukan diskusi mengenai usulan-usulan program baru.
2. Pengukuran kinerja meningkatkan akuntabilitas
internal.
Dengan adanya pengukuran kinerja ini, secara
otomatis akan tercipta akuntabilitas di seluruh lini pemerintahan, dari lini
terbawah sampai teratas. Lini teratas pun kemudian akan bertanggungjawab kepada
pihak legislatif. Dalam hal ini disarankan pemakaian system pengukuran standar
seperti halnya management by objectives untuk mengukur outputs dan outcomes.
3. Pengukuran kinerja meningkatkan akuntabilitas
publik.
Meskipun bagi sebagian pihak, pelaporan evaluasi
kinerja pemerintah kepada masyarakat dirasakan cukup menakutkan, namun
publikasi laporan ini sangat penting dalam keberhasilan sistem pengukuran
kinerja yang baik. Keterlibatan masyarakat terhadap pengambilan kebijakan
pemerintah menjadi semakin besar dan kualitas hasil suatu program juga semakin
diperhatikan.
4. Pengukuran kinerja mendukung perencanaan stategi
dan penetapan tujuan. Proses perencanaan strategi dan tujuan akan kurang
berarti tanpa adanya kemampuan untuk mengukur kinerja dan kemajuan suatu
program. Tanpa ukuran-ukuran ini, kesuksesan suatu program juga tidak pernah
akan dinilai dengan obyektif.
5. Pengukuran kinerja memungkinkan suatu entitas
untuk menentukan penggunaan sumber daya secara efektif.
Pemerintah daerah diharapkan dapat terus
meningkatkan kinerja dan akuntabilitas, hal ini mengakibatkan pemerintah daerah
segera merespon perubahan yang diinginkan oleh masyarakat sebagai stakeholder.
Satuan kerja perangkat daerah (SKPD) diharapkan memiliki kinerja yang baik yang
menunjukkan stewardship dan
akuntabilitas mereka terhadap sumberdaya masyarakat yang dikelolanya. Agar
pemerintah daerah dapat menjalankan operasinya dengan baik dan mampu
memperbaiki kualitas pelayanan kepada masyarakat, maka dirancang sistem
pengukuran kinerja pemerintah daerah agar peningkatan dan perbaikan kinerja
pemerintah daerah dapat dilakukan secara berkesinambungan.
Sistem pengukuran kinerja biasanya dilakukan
karena masalah keagenan (agency problem),
yaitu pengelola program dan kegiatan cenderung akan melakukan sesuatu yang
menguntungkan dirinya sendiri tanpa menghiraukan pihak principal. Fenomena ini
mendorong pihak pimpinan atau atasan untuk menerapkan sistem pengukuran kinerja
agar pihak principal (atasan) dapat mengawasai pengelolan program dan kegiatan
menjalankan program dan kegiatan serta memiliki skema dalam penetapan insentif
dan disinsentif. Pengukuran kinerja juga berfungsi sebagai alat untuk menjamin
kepentingan publik dapat terjaga.
Penetapan indikator kinerja merupakan suatu hal
yang sangat penting bagi pemerintah daerah untuk menilai keberhasilan
pencapaian suatu program dan kegiatan. Penetapan indikator ini dapat digunakan
sebagai basis atau dasar bagi masyarakat sebagai stakeholder untuk mengambil
keputusan. Penetapan indikator kinerja di instansi pemerintah selama ini dirasakan
kurang merefleksikan ukuran keberhasilan program dan kegiatan yang sebenarnya
sehingga indikator kinerja tersebut tidak memberi manfaat sama sekali.
Salah satu hal penting dalam sistem pengukuran
kinerja yang dapat mengindikasikan orientasi pada pemenuhan kepuasan/ kebutuhan
masyarakat adalah penetapan indikator dan target kinerja. Hal ini penting untuk
melihat apakah ukuran atau proksi yang digunakan untuk mengukur/menilai
keberhasilan suatu program dan kegiatan dalam mencapai tujuan dan misi satuan kerja
perangkat daerah. Indikator kinerja juga dapat digunakan untuk mengukur
keseriusan kepala satuan kerja perangkat daerah
untuk mencapai tujuan satuan kerjanya.
Penetapan indikator kinerja organisasi sektor
publik seperti pemerintahan daerah merupakan hal yang sulit, karena organisasi
pemerintah daerah menghasilkan output dan outcome yang tidak bias dihitung
dengan satuan moneter dan terkadang memiliki dampak yang tidak nyata. Ada 4
aspek yang harus diukur dalam organisasi pemerintah daerah yaitu input, output,
outcome dan efesiensi. Input adalah kuantifikasi dari usaha-usaha yang
dikeluarkan untuk menjalankan program dan kegiatan. Output adalah hasil jasa
layanan yang dicapai atas program dan kegiatan yang telah dilaksanakan. Outcome
adalah pengaruh atau efek dari jasa layanan yang telah diberikan. Sedangkan
efesiensi adalah perbandingan antara input yang telah dikeluarkan dengan output
dan outcome yang dicapai. Pada organisasi pemerintah daerah, output dan outcome
biasanya bersifat nonfinasial. Pengukuran terhadap outcome yang telah
dicapai adalah tahap yang paling sulit
karena banyak faktor yang harus dipertimbangkan. Henderson, et al (2002)
mengatakan bahwa dalam penetapan outcome suatu program dan kegiatan dalam
mengukur kinerja organisasi nirlaba memerlukan kreatifitas dari seorang
akuntan.
Kinerja pemerintah daerah bukan dilihat dari
seberapa besar laba yang yang diperoleh maupun seberapa ketat penggunaan dana,
melainkan dari dampak yang diberikan atas program dan kegiatan yang telah dilakukan. Untuk mengetahui dampak apa
saja yang diberikan oleh organisasi seperti pemerintah daerah tidak bias
dilihat dari laporan keuangan.
Kerangka Pengelolaan Keuangan Publik (selanjutnya
di singkat menjadi PKP) merupakan salah satu dari empat pilar kerangka pengukuran
pemerintah daerah. Pilar-pilar lainnya adalah pemberian layanan publik, iklim
investasi, dan kesehatan fiskal. Dengan mengukur kinerja dalam empat bidang
utama ini, penilaian yang sistematis terhadap kinerja pemerintah daerah dapat
dilakukan.
Kerangka PKP dibuat untuk menfasilitasi penilaian
dan analisis kapasitas pengelolaan keuangan pada tingkat daerah. Pengetahuan
ini memiliki beberapa aplikasi. Pertama, hasil dan analisis akan disebarkan
kepada pemerintah daerah. Sehingga, pemerintah daerah akan mendapatkan
penilaian yang akurat dan independen mengenai kapasitas pengelolaan keuangan
mereka sendiri dan dapat berfokus untuk memperbaiki bidang-bidang utama yang
menjadi kelemahan mereka. Diharapkan dengan adanya penelitian ini di
Pemerintahan daerah dapat mengetahui kelemahan dalam pengelolaan keuangan,
sehingga kedepannya Pemerintah daerah
diharapkan dengan kinerja yang bagus dapat diberikan penghargaan berupa
tambahan pendapatan melalui dana otonomi khusus untuk mendorong perbaikan yang
lebih jauh. Hal ini dapat menjadi bagian dari keseluruhan strategi untuk
memberikan bantuan bagi pemerintah daerah dalam mengembangkan kapasitas
pengelolaan keuangan mereka.
Kerangka ini dimaksudkan untuk menilai kapasitas
pengelolaan keuangan pemerintah daerah, yang terbagi menjadi sembilan bidang
strategis yang utama untuk pengelolaan keuangan publik
1. kerangka peraturan perundangan daerah;
2. perencanaan dan penganggaran;
3. pengelolaan kas;
4. pengadaan;
5. akuntasi dan pelaporan;
6. audit internal;
7. hutang dan investasi publik;
8. pengelolaan aset;
9. audit eksternal dan pengawasan.
Setiap bidang stragis terdiri dari atas satu
hingga lima hasil, dan sebuah daftar indikator diberikan untuk setiap hasil.
Hasil-hasil ini mencerminkan pencapaian yang diharapkan pada setiap bidang
strategis dan indikator-indikator digunakan untuk menilai sejauh mana
pemerintah daerah Kabupaten Batu Bara telah berhasil mencapai hasil-hasil
ini.
Kerangka pengukuran ini dirancang untuk menjadi
sekomprehensif mungkin. Namun, beberapa kekurangan tidak dapat dihindari.
Kerangka ini tidak dapat mengukur semua hal yang berkaitan dengan pengelolaan
keuangan dan akuntabilitas pemerintah daerah. Kerangka ini mempertimbangkan apa
yang mungkin dan yang realistis untuk dilakukan dalam pemerintah daerah Indonesia.
Oleh sebab itu, indikator-indikator mengarah kepada “dasar” yang bukan saja
dibutuhkan tetapi juga dinilai memungkinkan untuk dicapai.
2.2. Penelitian Terdahulu
2.2.1. Ehrmann Suhartono dan Abdul Halim, (2005)
pengaruh partisipasi penyusunan anggaran dan kejelasan sasaran anggaran
terhadap kinerja manajerial pemerintah daerah dengan motivasi sebagai variabel
pemoderasi, sebagai variabel dependen dalam penelitian tersebut adalah dependen
variabel kinerja manajerial pemerintah daerah, variabel independen adalah
partisipasi penyusunan anggaran dan kejelasan sasaran anggaran serta variabel
pemoderasi adalah motivasi hasil dari penelitian tersebut menyimpulkan
partisipasi penyusunan anggaran dan kejelasan sasaran anggaran berpengaruh
positif signifikan terhadap kinerja manajerial Pemerintah Daerah. Motivasi
berperan sebagai pemoderasi dalam hubungan antara partisipasi penyusunan
anggaran dengan kinerja manajerial pemerintah daerah, sebaliknya motivasi tidak
berperan dalam hubungan antara kejelasan sasaran anggaran dengan kinerja
manajerial pemerintah daerah. Adapun saran atas penelitian tersebut adalah agar
penelitian mendatang diharapkan mempertimbangkan pencapaian ukuran kinerja
manajerial yang lebih obyektif dan penelitian dengan jangka waktu yang lebih
panjang serta dapat menjabarkan desain penelitian yang lebih fit dengan
variabel pemoderasi dalam kaitannya dengan kinerja manajerial pemerintah
daerah.
2.2.2. Syafruddin, (2005), meneliti pengaruh moderasi
faktor inovasi pada hubungan partisipasi anggaran struktur terdesentralisasi
dan kinerja manajemen (studi di organisasi pemerintahan daerah), Variabel
independen yang digunakan dalam penelitian tersebut adalah Struktur organisasi
terdesentralisasi (X1) dan partisipasi anggaran (X2) dan Variabel Dependen yang
diguanakan adalah Faktor Komitmen Organisasi serta Variabel moderating adalah
faktor inovasi manajemen, hasil dari penelitian tersebut menyatakan bahwa
pemberian kesempatan pada karyawan pemda untuk berpartisipasi dan pendelegasian
wewenang dalam proses penetapan APBD meruapakan hal yang penting (necessary)
tetapi ini saja belum cukup (sufficient). Ada faktor lain yang harus
diperhatikan adalah faktor yang mampu membangkitkan motivasi dan membangkitkan
daya kognitif mereka, faktor-faktor pemoderasi lain seperti kompleksitas tugas,
gaya kepemimpinan, teknik evaluasi oleh pimpinan, struktur penghargaan, fokus
control karyawan dan lainnya.
BAB
III
KERANGKA KONSEPTUAL DAN
HIPOTESIS
3.1. Kerangka Konseptual
Pelaksanaan pengelolaan keuangan daerah otonomi
dilaksanakan melalui sistem pengelolaan keuangan merupakan suatu kerangka dari
prosedur-prosedur yang saling berhubungan yang disusun sesuai dengan suatu
skema yang menyeluruh, sedangkan prosedur disusun untuk menjamin adanya
perlakuan yang seragam terhadap transaksi-transaksi yang terjadi dalam suatu
organisasi. Salah satu unsur yang paling penting dalam penyelenggaraan
pemerintahan dan pembangunan di daerah adalah sistem atau cara pengelolaan
keuangan daerah secara berdayaguna dan berhasilguna.
Pengelolaan keuangan meliputi perencanaan,
pelaksanaan, penatausahaan, pelaporan, pertanggungjawaban, dan pengawasan.
Berdasarkan fenomena di atas maka kerangka koseptual terhadap Pengaruh
Partisipasi Penyusunan Anggaran, Kejelasan Sasaran Anggaran dan Struktur
Desentralisasi Anggaran Terhadap Kinerja Pengelolaan Anggaran SKPD Di
Lingkungan Pemerintah Kota Banjarbaru dapat digambarkan dengan model hubungan suatu
kerangka konseptual sebagai berikut :
BAB
IV
METODE
PENELITIAN
4.1. Rancangan Penelitian
Jenis penelitian ini adalah deskriptif kuantitatif,
penelitian deskriptif kuantitatif dapat diartikan sebagai penelitian yang bertujuan
untuk menguraikan atau menggambarkan sifat (karakteristik) dari suatu keadaan atau
objek penelitian yang dilakukan melalui pengumpulan dan analisis data kuantitatif
serta pengujian statistik terhadap pengaruh
partisipasi penyusunan anggaran,
kejelasan sasaran anggaran dan struktur desentralisasi anggaran terhadap
kinerja pengelolaan anggaran SKPD di lingkungan Pemerintah Kota Banjarbaru.
Adapun sifat penelitian ini adalah penelitian explanatory. Menurut
Sugiyono (2006) penelitian explanatory merupakan penelitian yang bermaksud
menjelaskan kedudukan variabel-variabel yang diteliti serta hubungan antara satu
variabel dengan yang lainnya pada penelitian ini.
4.2. Definisi Operasional Variabel
Definisi konseptual adalah generalisasi dari sekelompok
fenomena tertentu untuk menggambarkan berbagai fenomena yang sama. Dari pengertian
tersebut maka difinisi konseptual pada variabel penelitian ini adalah :
1. Partisipasi penyusunan anggaran (X1)
adalah partisipasi SKPD dalam proses penganggaran daerah, seperti program dan kegiatan yang akan
dilaksanakan, keikutsertaan dalam
menentukan target dan anggaran
dan sebagainya. Untuk mengukur variabel ini digunakan skala interval dan
menunjukkan tingkat partisipasi aparat dalam penyusunan anggaran.
2. Kejelasan sasaran anggaran (X2)
adalah kondisi kerja yang
akan dicapai yang tertuang dalam Rencana Kerja Anggaran Satuan Kerja Perangkat
Daerah.
3. Struktur desentralisasi anggaran (X3)
adalah segala proses
dalam kegiatan, penentuan nilai,
penentuan orang yang bertanggungjawab atas program dan kegiatan, menentukan
prioritas program dan kegiatan.
4. Kinerja (Y) pengelolaan anggaran SKPD di
lingkungan Pemerintah Kota Banjarbaru didefinisikan sebagai hasil pencapaian dari proses aktivitas yang efektif mulai dari
proses perencanaan dan penganggaran, penatausahaan, pelaporan,
pertanggungjawaban dan pengawasan. Pengukuran variabel ini menggunakan
instrumen kuesioner dengan skala interval dan menunjukkan tingkat kinerja
manajerial. Kuesioner ini diadaptasi dari Mahoney (1963) dengan
mempertimbangkan fungsi-fungsi manajerial yang terdapat di Pemerintah daerah
sesuai dengan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 13 Tahun 2006 dan perubahannya.
Sementara definisi operasional variabel merupakan
suatu definisi yang diberikan kepada suatu variabel dengan memberi arti atau menspesifikkan
kegiatan atau membenarkan suatu operasional yang diperlukan untuk mengukur variabel
tersebut (Sugiyono, 2006). Adapun definisi operasional dalam penelitian ini yaitu
:
1.
Partisipasi penyusunan
anggaran (X1)
a.
Dalam
penyusunan anggaran, saya selalu melibatkan seluruh pihak-ihak terkait (PPTK,
Kabag/Kabit, Kepala SKPD) (X1.1).
b.
Dalam
penyusunan anggaran, saya selalu melibatkan seluruh bawahan untuk ikut dalam
penyusunan anggaran SKPD (X1.2).
c.
Banyaknya
informasi yang saya berikan dalam pelaksanaan anggaran (X1.3).
d.
Saya
selalu meminta pendapat, atau saran saat anggaran akan ditetapkan (X1.4).
e.
Kontribusi
bawahan terhadap anggaran SKPD sangat besarMelibatkan bawahan (X1.5).
2.
Kejelasan sasaran anggaran (X2)
a.
Wewenang
menentukan penambahan dan mutasi pegawai Ada kejelasan sasaran anggaran pada
satuan kerja ini (X2.1).
b.
Saya
dapat mengetahui tingkat kepentingan sasaran anggaran pada setiap program (X2.2).
c.
Saya
dapat mengetahui secara jelas outcame yang harus dicapai pada setiap program
dan kegiatan (X2.3).
d.
Anggaran
yang dibuat telah mempertimbangkan skala prioritas (X2.4).
e.
Indikator
kinerja untuk setiap kegiatan yang tercantum dalam anggaran telah terdefinisi
dengan jelas dan terukur (X2.5).
3.
Struktur desentralisasi
anggaran (X3)
a.
Saya
mempunyai wewenang untuk menentukan jumlah anggaran untuk satuan kerja saya (X3.1).
b.
Saya
mempunyai wewenang untuk menentukan program dan kegiatan di satuan kerja saya (X3.2).
c.
Saya
mempunyai wewenang untuk menentukan pegawai yang terlibat dalam program dan
kegiatan (X3.3).
d.
Saya
mempunyai wewenang untuk menentukan prioritas kegiatan yang akan dilaksanakan (X3.4).
e.
Saya
mempunyai wewenang untuk menentukan penambahan pegawai di satuan kerja saya (X3.5).
4. Kinerja (Y) pengelolaan anggaran SKPD di lingkungan Pemerintah Kota
Banjarbaru
a.
Anggaran
SKPD dapat disusun sesuai dengan kalender anggaran (Y1).
b.
Program
dan kegiatan dapat dilaksanakan sesuai dengan waktu yang ditentukan (Y2).
c.
Proses
penatausahaan keuangan SKPD telah berjalan sesuai dengan seharusnya (Y3).
d.
Laporan
pertanggungjawaban SPJ dapat diserahkan sekurang-kurangnya tanggal 10 bulan
berikutnya (Y4).
e.
Laporan
keuangan SKPD dapat diselesaikan sesuai dengan waktu yang ditentukan (Y5).
4.3. Jenis dan Sumber Data
4.3.1. Jenis Data
Jenis data yang digunakan pada penelitian ini terdiri
dari :
a. Data Kualitatif yaitu data atau informasi dalam bentuk
tertulis mengenai gambaran umum seluruh SKPD di lingkungan Pemerintah Kota
Banjarbaru.
b. Data Kuantitatif adalah data pengukuran atau data
statistik objektif melalui perhitungan ilmiah berasal dari sampel pada
masing-msing SKPD dan pihak terkait lainnya yang menjadi objek penelitian yang diminta
menjawab atas sejumlah pertanyaan tentang survei untuk menentukan frekuensi dan
persentase tanggapan mereka.
4.3.2. Sumber Data
Sedangkan sumber data yang digunakan pada penelitian
ini adalah:
a. Data Primer data yang diperoleh secara langsung dari
instansi terkait, melalui wawancara dengan pimpinan SKPD, kepala bagian, dan pegawai
yang berhubungan dengan masalah yang dibahas.
b. Data Sekunder adalah berupa dokumen-dokumen dan laporan
tertulis yang tersedia di instansi serta informasi lain yang ada hubungannya dengan
masalah yang diteliti.
4.4. Populasi dan Sampel
4.4.1. Populasi
Menurut Saryono (2011) populasi adalah keseluruhan
subjek yang diteliti. Populasi yang dimaksud dalam penelitian ini adalah seluruh
Kapala Sub Bagian Keuangan dan Perencanaan pada seluruh SKPD di lingkungan
Pemerintah Kota Banjarbaru yang berjumlah 40 pegawai.
4.4.2. Sampel
Sampel merupakan sebagian dari populasi yang mewakili
suatu populasi. Sampel dikehendaki untuk menjawab suatu masalah penelitian merupakan
bagian dari populasi terjangkau yang dapat mewakili populasi (representative) (Saryono, 2011). Penentuan
besar sampel yang digunakan adalah penentuan besar sampel berdasarkan pertimbangan,
menurut Arikunto (2006) apabila subjek kurang dari 100 maka lebih baik diambil semua
sehingga penelitiannya merupakan penelitian populasi. Karena dalam penelitian ini
populasinya hanya berjumlah 40 pegawai, maka keseluruhan polasi dijadikan sebagai
subjek peneltian yaitu sebesar 40 pegawai.
4.5. Teknik Pengumpulan Data
Dalam penelitian ini peneliti menggunakan teknik pengumpulan
data sebagai berikut :
1. Studi Dokumentasi
Kegiatan yang dilakukan untuk memperoleh data yang diperlukan dengan mempelajari
dokumen-dokumen yang sudah ada. Hal ini dimaksud untuk mendapatkan data dan informasi
yang berhubungan dengan materi penelitian. Studi dokumentasi dilakukan dengan mempelajari
buku-buku dan hasil laporan lain yang ada kaitannya dengan penelitian.
2. Observasi atau pengamatan
Kegiatan untuk mendapatkan data yang faktual dengan cara mengadakan pengamatan
terhadap kondisi fisik, fasilitas, dan perilaku secara langsung pada obyek penelitian.
Pengumpulan data dengan pengamatan secara langsung terhadap obyek yang diteliti
dan diambil dari hasil pengamatan gejala yang dapat menunjang penelitian ini.
3. Pengisian Quesioner
Digunakan untuk mendapatkan data primer yang lebih terstruktur disamping diharapkan
lebih memberikan kenyamanan pribadi terhadap responden. Pengumpulan data dari responden
/sumber data primer dengan cara mengajukan daftar pertanyaan secara tertulis / angket.
Instrumen yang digunakan dalam penelitian adalah daftar
pertanyaan yang mengacu pada variabel bebas dan variabel tergantung. Instrumen penelitian
merupakan pengukuran terhadap fenomena sosial dimana peneliti pada prinsipnya akan
menggunakan alat ukur atau instrumen penelitian secara spesifik terhadap variabel
yang akan diteliti.
Penyusunan skala pengukuran pada kuesoner digunakan
metode Likerts Summated Ratings (LSR), dengan alternatif pilihan 1 sampai dengan
5 jawaban pertanyaan dengan ketentuan sebagai berikut:
a. Nilai 5 : Untuk jawaban Sangat Tinggi (ST) artinya responden beranggapan bahwa pernyataan memiliki pengaruh yang sangat tinggi terhadap
implikasi dari penyataan tersebut.
b. Nilai 4 : Untuk jawaban Tinggi (T) artinya responden beranggapan bahwa pernyataan memiliki pengaruh yang tinggi terhadap implikasi
dari penyataan tersebut.
c. Nilai 3 : Untuk jawaban Sedang (S) artinya responden beranggapan bahwa pernyataan memiliki pengaruh yang sedang atau biasa-biasa
saja terhadap implikasi dari penyataan tersebut.
d. Nilai 2 : Untuk jawaban Rendah (R) artinya responden beranggapan bahwa pernyataan memiliki pengaruh yang rendah terhadap implikasi
dari penyataan tersebut.
e. Nilai 1 : Untuk jawaban Sangat Rendah (SR) artinya responden beranggapan bahwa pernyataan memiliki pengaruh yang sangat rendah terhadap
implikasi dari penyataan tersebut.
Kategori jawaban di atas dapat berubah sesuai dengan
kebutuhan dari pernyataan yang dibuat.
4.6. Teknik Analisis Data
4.6.1. Uji Validitas dan Reliabilitas
A. Uji Validitas
Uji validitas merupakan pengukuran yang dilakukan
untuk menguji apakah instrumen yang dipakai cukup layak digunakan dalam penelitian
agar mampu menghasilkan data yang akurat. Ghozali (2005) menyatakan bahwa pengukuran
validitas dilakukan dengan korelasi bivariate antara masing-masing skor indikator
dengan total skor konstruk. Perhitungan korelasi bivariate masing-masing
skor indikator dengan total skor konstruk menggunakan perangkat lunak SPSS versi
21,00.
Menurut Umar (2004) bahwa uji validitas instrumen
dilakukan dengan uji coba pengukur pada sejumlah responden, responden diminta untuk
menjawab pertanyaan-pertanyaan yang ada. Menurut Ghozali (2005) bahwa uji signifikansi
dilakukan dengan membandingkan nilai r hitung dengan r tabel. Jika r hitung lebih
besar dari r tabel dan nilai positif maka butir atau pertanyaan atau indikator tersebut
dinyatakan valid. Dalam memberikan interpretasi terhadap koefisien korelasi dinyatakan
bahwa item yang mempunyai korelasi positif dengan kriterium (skor total) serta korelasinya
tinggi, menunjukkan bahwa item tersebut mempunyai validitas yang tinggi pula.
Menurut Sugiyono (2006) bahwa jika nilai validitas
setiap pertanyaan lebih besar dari 0,30 maka butir pertanyaan dianggap sudah valid.
Jadi kalau korelasi antara butir dengan skor total kurang dari 0,3 maka butir dalam
instrumen tersebut dinyatakan tidak valid.
B. Uji Reliabilitas
Suatu kuesioner dinyatakan reliabel atau handal jika jawaban seseorang terhadap pertanyaan konsisten dan stabil dari waktu ke waktu. Pengujian reliabilitas dilakukan untuk mengetahui konsisten hasil sebuah jawaban tentang tanggapan responden.
Menurut pernyataan Ghozali (2005) maka penelitian ini menggunakan pengukuran reliabilitas one shot atau pengukuran sekali saja. Pengujian reliabilitas menggunakan uji statistik Cronbach’s Alpha. Suatu konstruk atau variabel dikatakan reliabel jika memberikan nilai Cronbach’s Alpha > 0,60. (Nunnally dalam Ghozali, 2005). Reliabilitas yang kurang dari 0.6 adalah kurang baik, sedangkan
0.7 dapat diterima
dan reliabilitas dengan Cronbach’s
Alpha 0.8 atau diatasnya
adalah baik.
4.6.2. Model Analisis
Model analisis data yang digunakan dalam penelitian
untuk menganalisis adalah Regresi Linear Berganda (Multiple Regression) dengan model sebagai berikut :
Y = a + b1X1 + b2X2 + b3X3
+ e
Dimana:
Y
= Kinerja
Pegawai
a
= Konstanta
X1 = Partisipasi penyusunan anggaran
X2 = Kejelasan sasaran anggaran
X3 = Struktur desentralisasi anggaran
b1 = Koefisien
regresi Partisipasi penyusunan anggaran
b2 = Koefisien
regresi Kejelasan sasaran anggaran
b3 = Koefisien regresi Struktur desentralisasi anggaran
e
= Term of error
Pengaruh variabel bebas terhadap variabel terikat
diuji dengan tingkat kepercayaan (confidence
interval) 95% atau α = 0,05 (alpha = 5%).
Dalam pengolahan dan untuk keperluan analisis data
peneliti menggunakan Statistical Program for
Social Science (SPSS) Relase 21,0 kemudian dalam meminimalkan kekeliruan (error) dipergunakan taraf significan (α)
sebesar 0,05.
Dari persamaan regresi linier berganda tersebut diatas,
maka dilakukan uji statistik sebagai berikut :
A. Menghitung Koefisien Determinasi (R2)
Untuk melihat Personal Background variabel bebas dalam
menerangkan variabel terikat dapat diketahui dari besarnya koefisien determinasi
berganda (R2). Dengan kata lain, nilai koefisien R2 digunakan
untuk mengukur besarnya sumbangan variabel bebas terhadap variabel terikatnya. Adapun
rumus untuk koefisien determinasi adalah sebagai berikut (Gujarati,2008) :
Jika R2 diperoleh dari hasil perhitungan
semakin besar atau mendekati 1 maka dapat dikatakan bahwa sumbangan dari variabel
bebas terhadap variasi variabel terikat semakin besar. Itu berarti model yang digunakan
semakin kuat untuk menerangkan variabel terikatnya. Sebaliknya jika R2
semakin kecil atau mendekati 0 maka dapat dikatakan bahwa sumbangan dari variabel
bebas terhadap variasi variabel terikatnya semakin kecil. Hal ini berarti model
yang digunakan semakin lemah untuk menerangkan variasi variabel terikatnya. Secara
umum dapat dikatakan bahwa koefisien determinasi berganda (R2) berada
diantara 0 dan 1 atau 0 < R2 < 1.
B. Uji – F (secara serentak)
Uji F merupakan alat uji statistik secara simultan
untuk mengetahui pengaruh variabel bebas terhadap variabel terikat secara bersama-sama.
Adapun langkah-langkah untuk uji F atau uji simultan
adalah sebagai berikut :
Perumusan Hipotesis nol (Ho) dan hipotesis pertama
(H1)
Ho
= Tidak terdapat pengaruh secara simultan antara variabel
partisipasi penyusunan anggaran (X1), kejelasan sasaran
anggaran (X2) dan struktur desentralisasi anggaran (X3)
terhadap kinerja (Y) pengelolaan anggaran SKPD di lingkungan Pemerintah
Kota Banjarbaru.
H1 = Terdapat pengaruh secara simultan
antara variabel partisipasi penyusunan anggaran (X1),
kejelasan sasaran anggaran (X2) dan struktur desentralisasi
anggaran (X3) terhadap kinerja (Y) pengelolaan
anggaran SKPD di lingkungan Pemerintah Kota Banjarbaru.
Dasar pengambilan keputusan :
-
Jika nilai probabilitas 0,05
lebih kecil atau sama dengan nilai probabilitas Sig atau [Sig ≤ 0,05] atau Fhitung > Ftabel
untuk α = 5% maka Ho ditolak dan H1 diterima, artinya signifikan.
-
Jika nilai Probabilitas 0,05
lebih besar atau sama dengan nilai probabilitas Sig atau [Sig ≥ 0,05] atau Fhitung < Ftabel
untuk α = 5% maka Ho diterima dan H1 ditolak,
artinya tidak signifikan.
C. Uji – t test (secara partial)
Uji t merupakan alat uji statistik untuk mengetahui
pengaruh variabel bebas terhadap variabel terikat yaitu partisipasi penyusunan
anggaran (X1), kejelasan sasaran anggaran (X2)
dan struktur desentralisasi anggaran (X3) terhadap kinerja (Y)
pengelolaan anggaran SKPD di lingkungan Pemerintah Kota Banjarbaru.
Adapun langkah-langkah untuk uji t adalah :
Perumusan Hipotesis nol (Ho) dan hipotesis kedua
(H2)
1. Hipotesis 2a
Ho = partisipasi penyusunan anggaran (X1)
tidak berpengaruh terhadap kinerja (Y) pengelolaan anggaran SKPD di
lingkungan Pemerintah Kota Banjarbaru.
H2a= partisipasi penyusunan anggaran (X1)
berpengaruh terhadap kinerja (Y) pengelolaan anggaran SKPD di
lingkungan Pemerintah Kota Banjarbaru.
2. Hipotesis 2b
Ho = kejelasan sasaran anggaran (X2)
tidak berpengaruh terhadap kinerja (Y) pengelolaan anggaran SKPD di
lingkungan Pemerintah Kota Banjarbaru.
H2b = kejelasan sasaran anggaran (X2)
berpengaruh terhadap kinerja (Y) pengelolaan anggaran SKPD di
lingkungan Pemerintah Kota Banjarbaru.
3. Hipotesis 2c
Ho = struktur desentralisasi anggaran (X3)
tidak berpengaruh terhadap kinerja (Y) pengelolaan anggaran SKPD di
lingkungan Pemerintah Kota Banjarbaru.
H2c = struktur desentralisasi anggaran (X3)
berpengaruh terhadap kinerja (Y) pengelolaan anggaran SKPD di
lingkungan Pemerintah Kota Banjarbaru.
Dasar pengambilan keputusan :
-
Jika nilai probabilitas 0,05
lebih kecil atau sama dengan nilai probabilitas Sig atau [Sig ≤ 0,05] atau thitung > ttabel
untuk α = 5% maka Ho ditolak dan H2 diterima, artinya
signifikan.
-
Jika nilai Probabilitas 0,05
lebih besar atau sama dengan nilai probabilitas Sig atau [Sig ≥ 0,05] atau thitung < ttabel
untuk α = 5% maka Ho diterima dan H2 ditolak, artinya tidak signifikan.
D. Uji Variabel Dominan
Untuk mengkaji variabel yang dominan digunakan indikator
koefisien beta standardized dari variabel-variabel dari model regresi. Koefisien
beta standardized diperoleh dari hasil perkalian antara koefisien parsial korelasi
(SDx1/Sdy) dan koefisien variabelnya (bi).
4.6.3. Uji Asumsi Klasik
Menurut Arikunto (2002) menyatakan penggunaan model regresi
linier berganda harus memenuhi
asumsi klasik, yaitu antara lain: uji normalitas, uji multikolinearitas dan uji heteroskedastisitas. Sebelum melakukan pengujian
hipotesis dari penelitian yang akan dilakukan, terlebih
dahulu dilakukan pengujian asumsi klasik, hal ini untuk memastikan bahwa alat uji regresi berganda dapat digunakan
atau tidak.
Apabila uji asumsi
klasik telah terpenuhi, maka alat uji statistik regresi
linear berganda dapat digunakan. Model regresi linear berganda dapat disebut sebagai
model yang baik apabila model tersebut memenuhi asumsi normalitas
data dan terbebas dari asumsi-asumsi klasik yaitu multikolinearitas
dan heteroskedastisitas.
A. Uji Normalitas
Uji normalitas bertujuan untuk menguji apakah dalam
model regresi, variabel pengganggu atau residual memiliki distribusi normal. Menurut
Sugiyono (2006) bahwa model yang paling baik adalah apabila datanya berdistribusi
normal atau mendekati normal. Jika data menyebar di sekitar garis diagonal dan mengikuti
arah diagonal, maka model regresi memenuhi asumsi normalitas. Sebaliknya, jika data
menyebar jauh dari garis diagonal dan atau tidak mengikuti arah garis diagonal,
maka model regresi tidak memenuhi asumsi normalitas.
Distribusi normal akan membentuk satu garis lurus
diagonal. Jika distribusi data residual normal, maka garis yang menggambarkan data
sesungguhnya akan mengikuti garis diagonalnya. Selain menggunakan grafik, untuk
mengetahui apakah
data berdistribusi normal atau mendekati normal bisa
juga dilakukan dengan menggunakan uji Statistic Non Parametric Kolmogorov-Smirnov
(K-S) yaitu dengan menggunakan One-Sample Kolmogorov-Smirnov Test
(Ghozali, 2006).
B. Uji Heteroskedastisitas
Uji heteroskedastisitas bertujuan untuk mengetahui apakah terjadi perbedaan variasi residual suatu
periode pengamatan ke periode pengamatan yang lain, atau gambaran hubungan antara nilai yang diprediksi dengan standardized delete residual nilai tersebut. Heteroskedastisitas dapat diuji dengan menggunakan metode grafik, yaitu dengan melihat ada tidaknya
pola tertentu yang tergambar
pada grafik. Jika pola titik-titik yang terbentuk membentuk pola teratur (bergelombang, melebar, kemudian menyempit), maka telah terjadi
heteroskedastisitas pada model regresi.
Sebaliknya, jika tidak terbentuk
pola yang jelas dimana titik-titik menyebar di atas dan di bawah angka
nol pada sumbu Y, maka tidak terjadi
heteroskedastisitas pada model regresi
(Ghozali, 2005).
C. Uji Autokolarelasi
Penaksiran model linier mengandung asumsi bahwa tidak
terdapat autokorelasi atau korelasi serial diantara disturbance term-nya.
Untuk menguji ada tidaknya autokorelasi akan digunakan uji dari Breusch-Godfrey
atau (BG) Test. Uji ini menyatakan jika nilai c 2-hitung lebih kecil dari nilai c2-tabel berarti hipotesis alternatif yang menyatakan
ada autokorelasi dalam model dapat ditolak. (Gujarati, 2008).
D. Uji Multikolinearitas
Uji multikolinearitas bertujuan untuk menguji apakah
pada model regresi ditemukan adanya korelasi antar variabel bebas (independen).
Model regresi yang baik seharusnya tidak terjadi korelasi antar variabel independen.
Jika terjadi korelasi, maka dinamakan terdapat problem multikolinearitas.
Pengujian multikolinearitas dapat dilakukan dengan
melakukan korelasi antara variabel bebas (independent variable). Jika nilai
korelasi antara variabel bebas tersebut lebih besar dari 0.7 (Nunnally dalam Ghozali,
2005) maka dapat dikatakan bahwa terjadi gejala multikolinearitas. Disamping dengan
melakukan uji korelasi tersebut, pengujian ini juga dapat dilakukan dengan melihat
nilai Tolerance dan Variance Inflation Factor (VIF) dari model penelitian.
Jika nilai Tolerance < 0.10 atau nilai VIF > 10 maka dapat dikatakan
telah terjadi gejala multikolinearitas.
4.7. Lokasi dan Waktu Penelitian
4.7.1. Lokasi Penelitian
Penentuan lokasi penelitian dimaksudkan untuk lebih
mempersempit ruang lingkup dalam pembahasan dan sekaligus untuk mempertajam kajian
sesuai dengan substansi yaitu kinerja pengelolaan anggaran SKPD di lingkungan
Pemerintah Kota Banjarbaru. Disamping itu lokasi penelitian akan memperhatikan berbagai
keterbatasan daya jangkau peneliti yang meliputi waktu, biaya, dan daya yang dimiliki
peneliti. Dengan berbagai pertimbangan tersebut, maka penulis mengambil lokasi pad
amasing-masing SKPD di lingkungan Pemerintah Kota Banjarbaru yang berjumlah
adalah 37 SKPD yang terdiri dari Sekretariat Daerah, Sekretariat Dewan, RSUD,
17 (tujuh belas) Dinas, 8 (delapan) Badan, 3(tiga) Kantor dan Inspektorat serta
5 (lima) Kecamatan.
4.7.2. Waktu Penelitian
Waktu yang diperlukan untuk melakukan penelitian sampai penyelesaian tesis yang
layak untuk diujikan diperkirakan 5 (lima) bulan dengan jadwal sebagai berikut :
1. Tahap persiapan selama 1 (satu) bulan.
2. Tahap pengumpulan data selama 1 (satu) bulan.
3. Tahap pengolahan data selama 1 (satu) bulan.
4. Tahap penyusunan tesis selama 1 (satu) bulan.
5. Tahap pembuatan laporan dan perbaikan tesis selama 1 (satu) bulan.
DAFTAR PUSTAKA
Abdullah, H, 2004. Pengaruh kejelasan sasaran anggaran,
pengendalian akuntansi dan sistem pelaporan terhadap akuntanbilitas kinerja
instansi pemerintah pada kabupaten dan Kota di Daerah Istimewa Yoyakarta,
Tesis, Program Pasca Sarjana UGM, Yogyakarta.
Adoc, M, H, 2002. Pengaruh Karakteristik tujuan anggaran
terhadap perilaku, sikap dan kinerja pemerintah daerah diprovinsi Nusa Tenggara
Timur, Tesis, Program Pasca Sarjana UGM, Yogyakarta.
Bastian, Indra, 2001.
Akuntansi Sektor Publik di Indonesia,
Edisi 1, BPFE UGM, Yogyakarta.
Bastian, Indra, 2006.
Sistem Akuntansi Sektor Publik, Edisi
2, Jakarta, Salemba Empat.
Bastian, Indra, 2007.
Audit Sektor Publik, Edisi 2, Jakarta
Salemba Empat.
Brownwll, P, 1982. Participation in the budgeting proses when
it eork and when it doesn’t, journal of accounting leterature, Vol 1
Burns, WJ and Water
Housem JH, 1975. Budgetary Control and
organizational Structure; Journal of Accounting Research, Autumm.
Dansereane, F jr,
Graaen, Grand Haga, Wj, 1975. A Vertical
Dyad Linkage Approach to Leadership Within Formal Organizations;
Organizational Behaviour and Human performance, Vol. 13.
Dent, J, 1986. Organizational reserach in accounting
perpective, issues, and a commentary “Research and currentissue in Management
accounting, Pitman, London.
Dwianasari, R, 2004. Pengaruh hubungan antara struktur
Desentralisasi dan partisipasi Penyusunan anggaran terhadap kinerja Dinas
dengan komitmen organisasi sebagai variable intervening, Tesis, Program
Pasca Sarjana UGM, Yogyakarta.
Govindarajan, V, 1986.
Impact of Participation in the budgetary
process on manegerial attitude and performance universalistic and cantingency
perspective, Decisious Science.
Ghozali, Imam, 2002. Aplikasi analisis Multivariat dengan program
SPSS, BP Undip.
Halim, Abdul, 2007. Akuntansi Sektor Publik, Akuntansi keuangan
Daerah, Edisi 3, Jakarta, Salemba Empat.
Hassan, Iqbal, 2008. Pokok-pokok Materi Statistik 2, Statistik
Inferensif, Edisi Kedua, Jakarta, Bumi Aksara.
Ikhsan, Arfan, 2008. Metodologi Penelitian Akuntasi Keprilakuan,
Edisi pertama, Yogyakarta, Graha Ilmu.
Kenis, I, 1979. Effect on Budgentary good characteristic on
Managerial Attitude and Performance, The Accounting Review.
Keputusan Presiden RI
No. 80 tahun 2003. tentang Pedoman
Pelaksanaan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah.
Keputusan Menteri
Pendayagunaan Aparatur Negara No. KEP/26/M.PAN/2/2004 tentang Petunjuk Teknis
Transparansi dan Akuntabilitas dalam Penyelenggaraan Pelayanan Publik.
Mathieu, J.E and
Zajac, DM, 1990. A riview and meta
analisi of the antecedents, correlates, and cansequences of organizational
commitment, Pcychological Bulletin, Vol. 108.
Mia, L, 1989. The Impact of participation in budgeting and
job difficulty on manegerial performance, work motivation, a research note’,
Accounting, organizations and society, Vol. 13.
Mia, L, 1993. The Role of MAS information in
organizations, an empirical study, British Accounting Review, Vol. 25.
Milani, K, 1975. The Relationship of participation in budget
setting to industrial Supervisor performance and attitude, a filed study,
accounting Review, Vol. 50.
Peraturan Pemerintah
No. 20 tahun 2004 tentang Rencana Kerja Pemerintah. Peraturan Pemerintah
No. 58 tahun
2005 tentang Pokok-pokok
Pengelolaan Keuangan Daerah.
Peraturan Pemerintah
No. 79 tahun 2005 tentang Pedoman Pembinaan dan Pengawasan Penyelenggaraan
Pemerintahan Daerah.
Peraturan Pemerintah
No. 65 tahun 2005 Pedoman Penyusunan dan Penerapan Standar Pelayanan Minimal.
Peraturan Pemerintah
No. 24 tahun 2005 tentang Standar Akuntasi Pemerintah (SAP).
Peraturan Pemerintah
No. 8 tahun 2006 tentang Pelaporan Keuangan dan Kinerja Instansi Pemerintah.
Peraturan Pemerintah
No. 3 tahun 2007 tentang Laporan Penyelenggaraan Pemerintahan daerah kepada
Pemerintah, Laporan keterangan pertanggung jawaban Kepala Daerah kepada Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah, dan Informasi Laporan Penyelenggaraan Pemerintah
Daerah kepada masyarakat.
Peraturan Pemerintah
No. 41 tahun 2007 tentang Organisasi Perangkat Daerah. Peraturan Pemerintah
No. 39 tahun
2007 tentang Pokok-pokok
Perbendaharaan Negara.
Peraturan Pemerintah
No. 6 tahun 2008 tentang Pedoman Evaluasi Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah.
Peraturan Pemerintah
No. 8 tahun 2008 tentang Tahapan, Tata Cara Penyusunan, Pengendalian dan
evaluasi pelaksanaan Rencana Pembangunan Daerah.
Peraturan Pemerintah
No. 38 tahun 2008 tentang Pengelolaan Barang Milik Negara/Daerah.
Peraturan Pemerintah
No. 60 tahun 2008 tentang Sistem Pengendalian Intern Pemerintah.
Peraturan Badan
Pemeriksa Keuangan (BPK) No. 01 tahun 2007 tentang Standar Pemeriksaan Keuangan
Negara.
Peraturan Badan
Pemeriksa Keuangan (BPK) No. 3 tahun 2007 tentang Tata Cara Penyelesaian Ganti
Kerugian Negara Terhadap Bendahara.
Permendagri No. 13
tahun 2006 tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah cq. Permendagri No. 59
tahun 2007 tentang Perubahan atas Permendagri No. 13 tahun 2006.
Permendagri No. 26
tahun 2006 tentang Pedoman Penyusunan Anggaran Pendapatan dan Belanja daerah
Tahun Anggaran 2007.
Permendagri No. 23
tahun 2007 tentang Pedoman Tata Cara Pengawasan atas Penyelenggaraan
Pemerintahan Daerah.
Permendagri No. 4
tahun 2008 tentang Pedoman Pelaksanaan Reviu atas Laporan Keuangan Pemerintah
Daerah.
Permendagri No. 7
tahun 2008 tentang Pedoman Tata Cara Pengawasan atas Penyelenggaraan
Pemerintahan Desa.
Permendagri No. 12
tahun 2008 tentang Pedoman Analisis Beban Kerja dilingkungan Departemen Dalam
Negeri dan Pemerintah Daerah.
Permendagri No. 6
tahun 2007 tentang Petunjuk Teknis Penyusunan dan Penetapan Standard Pelayanan
Minimal.
Permendagri No. 17
tahun 2007 tentang Pedoman Teknis Pengelolaan Barang Milik Daerah.
Siegel, G. dan H. R.
Marconi Boulian. 1989. Behavioral
Accounting. Cincinati. Ohio. South-Western Publishing Co. Singarimbun,
Masri dan Sofyan Effendi (Ed). 1989. Metode Penelitian Survei. Edisi Revisi.Jakarta:
LP3ES.
STAR, ADB, 2007. Laporan Sektor tentang Akuntabilitas dan
Audit di Indonesia, State Audit Refom-Sector Development Progam (STAR-SDP),
Program Loan Monitoring Unit (PLMU).
Surat Edaran Mendagri
No. SE.900/316/BAKD tahun 2007 tentang Pedoman Sistem dan Prosedur
Penatausahaan dan Akuntansi, Pelaporan, dan Pertanggung jawaban Keuangan
Daerah.
Surat Edaran Mendagri
No. SE.900/079/BAKD tahun 2008 tentang Pedoman Penyusunan Kebijakan Akuntansi
Pemerintah Daerah.
Undang-undang No. 32
tahun 2004, tentang Pemerintahan Daerah cq. UU No.12 tahun 2008 tentang
perubahan kedua atas UU No. 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah.
Undang-undang No. 17
tahun 2003 tentang Keuangan Negara Undang-undang No. 1 tahun 2004 tentang
Perbendaharaan Negara
Undang-undang No. 15
tahun 2004 tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan Negara
Undang-undang No. 25.
tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional.
Undang-undang No. 33
tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah.
Arikunto, Suharsimi, 2002.
Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan,
Edisi Revisi, Rhineka Cipta, Yogyakarta
Ghozali, Imam, 2005. Aplikasi Analisis Multivariate Dengan Program SPSS, BP Universitas Diponegoro,
Semarang
Ghozali, Imam, 2006. Aplikasi
Analisis Multivariate dengan Program SPSS. Badan Penerbit Universitas Diponegoro. Semarang
Gujarati, D., 2008.
Ekonometrika Dasar. Cetakan Keduabelas. Erlangga, Jakarta. Diterjemahkan oleh Sumarno Zain
Notoamodjo, S., 2003.
Metodologi Penelitian Kesehatan. Cetakan
ketiga. Jakarta: Rineka Cipta.
Saryono,
2011. Metodologi Penelitian Kesehatan: Penuntun
Praktis Bagi Pemula. Yogyakarta:Mitra Cendikia Press.
Sugiyono,
2006. Statistika untuk Penelitian. Bandung:
Alfabeta
Umar,
Husein, 2004. Metode Riset Ilmu Administrasi,
PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta
0 Komentar